Pencarian kebahagiaan manusia yang dilakukan Aristoteles berujung di
pengertian kebahagiaan sebagai penyempurnaan dalam aktivitas berakal
budi. Aristoteles kemudian menjelaskan kebahagiaan ini sebagai suatu
bentuk kehidupan berkebajikan (life expressing virtue)yang
terus-menerus, dan bukan hanya sementara saja. Walaupun ia melanjutkan
diskusi mengenai “kebajikan” itu sendiri, Aristoteles tidak memberikan
kepastian bagaimana kebahagiaan seperti itu dapat ditemukan manusia.
Dalam hal ini, pewahyuan tentunya berperan besar. Seperti yang dikatakan
Katekismus, pewahyuan Allah membuat sesuatu yang tidak pasti menjadi
pasti bagi manusia, agar manusia dapat percaya dengan mudah, keteguhan
yang kokoh, dan tanpa tercampur kesalahan atau kesesatan. ((cf. KGK 38))
Dengan bantuan pewahyuan, St. Thomas secara indahnya meneruskan
pencarian Aristoteles dan memberikan manusia suatu kepastian di mana
kebahagiaan itu dapat ditemukan.
Kebahagiaan akhir manusia terletak pada penyempurnaan aktivitas berakal budi
St. Thomas akan membawa argumennya berdasarkan hasil pencarian
Aristoteles bahwa kebahagiaan manusia terletak pada penyempurnaan
aktivitas berakal budinya. St. Thomas kemudian menjelaskan bagaimana
penyempurnaan aktivitas berakal budi itu dapat tercapai.
Penyempurnaan aktivitas berakal budi adalah mengetahui esensi sesuatu
Penyempurnaan setiap kekuatan manusia ((Kekuatan-kekuatan dasar manusia (basic powers of man) dapat dikelompokkan menjadi intelek/akal budi (intellect/reason), kehendak (will), dan kesukaan/gairah (passions). )) itu berdasarkan natur dari objeknya. Sebagai contoh, penyempurnaan dari kehendak (the will) adalah kasih (charity), yaitu menghendaki kebaikan yang lain, karena objek dari kehendak adalah kebaikan (good). ((cf. St. Thomas, STh.
II-II, q. 172, a. 2, ad. 1; Kehendak dan kesukaan/gairah selalu mencari
“kebaikan”, baik “kebaikan” yang sesungguhnya, ataupun “kebaikan” yang
hanya tampak demikian)) Maka, penyempurnaan dari akal budi adalah
mengetahui esensi dari sesuatu, karena esensi, yaitu “apa hal itu” (what it is), adalah yang dicari akal budi. ((cf. Aristoteles, De Anima,
iii, 6.)) Akal budi manusia tidak hanya melihat/memahami aksiden,
seperti spektrum warna, bentuk, dan ukuran pada objek-objek di
sekitarnya. Kita tidak hanya melihat lingkaran, warna hijau, dan bentuk
memanjang, tetapi akal budi manusia melihat matahari, pohon-pohon, dan
sungai dengan “menggabungkan” aksiden-aksiden tersebut (warna, bentuk,
ukuran, dan sebagainya) dan melihatnya sebagai suatu esensi (matahari,
pohon, sungai, dan sebagainya). Sebagai contoh lainnya, ketika seseorang
memandang crucifix, ia tidak hanya melihat bentuk salib, warna cokelat,
dan tekstur kasar; akal budinya melihat esensi dari objek tersebut,
yaitu crucifix. Maka, penyempurnaan aktivitas berakal budi, berdasarkan
objeknya, adalah mengetahui esensi dari suatu objek.
Manusia lebih mencari esensi dari sebab daripada akibat.
Setelah terbukti bahwa kebahagiaan manusia terletak pada aktivitas
tertingginya, yaitu berakal budi, dan dengan berakal budi ia mencari
esensi dari sesuatu dan bukan sekedar aksiden, maka pertanyaannya adalah
apakah manusia mencari esensi dari suatu sebab atau akibat. Nampaknya,
manusia secara natural ingin mencari esensi dari sebab. Hal ini
dikarenakan manusia hanya dapat melihat secara langsung esensi dari
akibat, sedangkan sebabnya hanya diketahui sejauh kita tahu bahwa segala
sesuatu ada penyebabnya. ((Dengan melihat/mengerti esensi dari akibat,
kita melihat “apa (akibat/hal) itu” (what it is). Namun dengan melihat akibat, kita tahu mengenai sebab bahwa “(sebab/hal) itu ada” (that it is), namun belum mengetahui “apa (sebab) itu” (what it is).
Kenyataan ini lah yang membuat kita terus bertanya-tanya mengenai
sebab.)) Ketika kita melihat esensi dari asap, kita tahu bahwa asap itu
ada penyebabnya. ((Dalam hal ini, asap adalah “akibat” sejauh asap
memiliki “sebab”.)) Ini membuat kita ingin mencari penyebabnya, dan
setelah kita melihat esensi dari penyebabnya, misalnya api, kita pun
tahu bahwa api itu ada penyebabnya. ((Dalam hal ini, api adalah “akibat”
sejauh api memiliki “sebab”.)) Sebagai contoh lain seperti yang
diberikan St. Thomas, bila kita melihat gerhana matahari, dan tahu bahwa
hal tersebut pasti disebabkan oleh sesuatu, kita akan terus
bertanya-tanya tentang penyebabnya sampai kita melihat/mengerti esensi
dari sebab gerhana itu. Namun, kita akan tetap bertanya-tanya selama
penyebab dari gerhana itu juga disebabkan oleh hal lain. Maka, manusia
dengan akal budinya selalu memiliki kerinduan untuk mencari esensi
penyebab dari akibat yang dilihatnya.
Manusia belum bahagia selama akal budinya masih mencari sesuatu.
Nampaknya jelas bahwa selama kekuatan tertingginya, yaitu akal budi,
masih mencari sesuatu, manusia belum dapat dikatakan berbahagia. Selama
binatang, yang kekuatan tertingginya adalah kesukaan/gairah, masih
mencari sesuatu yang lebih disukainya, ia masih belum berbahagia. Selama
seorang nahkoda, sejauh ia seorang nahkoda, masih mencari tujuan akhir
bagi kapal yang dikemudikannya, ia belum “berbahagia” atau belum
memenuhi tujuan akhir dari keberadaannya. Dengan demikian, selama akal
budi manusia masih mencari esensi dari sesuatu, manusia belum dapat
dikatakan berbahagia atau berhasil mencapai tujuan akhirnya.
Kebahagiaan sempurna manusia terletak pada pengetahuan akan esensi dari Sebab Pertama.
Kita telah menyetujui bahwa, pertama, manusia tidak pernah puas
selama akal budinya masih dapat mencari sesuatu. Kemudian, manusia
selalu ingin mencari esensi dari sebab dan bukan sekedar akibat. Dengan
demikian, kebahagiaan sempurna manusia terletak pada
pengetahuan/penglihatan akan esensi dari Sebab Pertama (First Cause),
yaitu sesuatu yang tidak disebabkan oleh hal lain. ((Sebab Pertama
pasti ada karena tidak mungkin ada rangkaian sebab-akibat yang tak
terhingga (lihat bagian pertama dalam pembuktian adanya tujuan akhir
manusia dengan argumen reductio ad absurdum). Lihat pula STh.
I, q. 2, a. 3.)) Setelah mengetahui/melihat esensi dari Sebab Pertama
ini, ia dengan akal budinya tidak lagi mencari hal lain karena tidak ada
yang menjadi sebab dari Sebab Pertama. Maka, kebahagiaan manusia
dicapai setelah akal budinya melihat Sebab Pertama.
Kebahagian manusia hanya ada di dalam kesatuannya dengan Allah
Aristoteles telah membuktikan keberadaan dari Sebab Pertama, namun ia
tidak mengembangkan pribadi tersebut lebih jauh dari sekedar Pure Act yang abstrak dan nonpersonal. St. Thomas kemudian menerangkan sosok Sebab Pertama ini dengan menyebutnya sebagai “Allah” dalam quinque viae
(lima jalan) yang ia berikan untuk membuktikan eksistensi Allah. Maka,
untuk mencapai kebahagiaan yang sempurna, yaitu tujuan akhir manusia,
akal budi perlu mencapai esensi dari Sebab Pertama, yaitu Allah. Namun,
di dunia ini kita belum dapat melihat esensi Allah secara sempurna: kita
hanya tahu bahwa Allah “itu ada” (that He is) berdasarkan ciptaan-ciptaannya, tetapi tidak tahu secara sempurna “apa itu” (what He is)
Allah. Dengan demikian, penyempurnaan akal budi manusia hanya ada di
dalam kesatuannya dengan Allah di dunia yang akan datang, di mana
kebahagiaan dan tujuan akhir manusia dapat tercapai dengan melihat “apa
itu” Allah melalui Beatific Vision.
Kesimpulan
Pada akhirnya, walaupun tanpa pewahyuan, kita dapat secara jelas dan
yakin mengetahui bahwa manusia memiliki tujuan akhir dan hidupnya tidak
tanpa arah atau tujuan; tujuan itu adalah yang kita mengerti sebagai
kebahagiaan, yaitu sesuatu yang dicari demi hal itu sendiri dan tidak
demi hal lain. Aristoteles pun menegaskan bahwa kebahagiaan itu tidak
terletak pada sekedar kesenangan atau kenikmatan, atau bahkan uang,
tetapi pada aktivitas manusia yang paling mulia dan unik, yaitu berakal
budi. St. Thomas, yang menyempurnakan pemahaman Aristoteles mengenai
Allah menjadi pribadi yang personal dan jelas keberadaannya, meyakinkan
bahwa penyempurnaan aktivitas manusia itu hanya ada di dalam Allah,
karena hanya setelah melihat Allah akal budi manusia akan terpuaskan.
Dengan demikian, pewahyuan Allah tidak menggantikan posisi filsafat
Aristoteles, melainkan memperjelas, menyempurnakan, dan memberikan
kepastian kepada kita mengenai kebenarannya.
St. Thomas juga melengkapi bahwa Allah tidak hanya memenuhi kerinduan
akal budi manusia sebagai kekuatan tertingginya, namun hanya Allah pula
yang dapat memenuhi semua kekuatan manusia, yaitu kehendak (will) dan kesukaan/gairah (passions), dan tidak ada ciptaan yang dapat memberikan manusia kebahagian yang sempurna. ((cf. STh.
I-II, q. 2, a. 8)) Orang-orang yang menganggap mereka dapat mendapatkan
kebahagiaan di dunia ini jelas tertipu. Secara sederhana, sesuatu tidak
dapat dipuaskan oleh hal yang di bawah kodratnya. Seekor sapi tidak
dapat dipuaskan dengan berperilaku seperti tumbuhan: hanya berdiam diri
dan makan. Demikian pula dengan manusia. Manusia tidak dapat dipuaskan
dengan dunia ini sebab akal budinya dapat beraktivitas secara lebih
tinggi dan mulia dari sekedar eksistensi fisik dunia ini. Pernyataan ini
menjadi masuk akal: karena manusia memiliki kemampuan berakal budi yang
merupakan partisipasi dalam suatu kenyataan yang lebih tinggi, hanya
pribadi yang lebih tinggi yang dapat memuaskan manusia secara penuh, dan
pribadi itu adalah yang kita pahami sebagai Allah.
Bukti nyata dari argumen ini adalah kehidupan orang-orang kudus:
mereka menyadari bahwa kebahagiaan hanya ada di dalam Allah, dan mereka
sebagai manusia memiliki kodrat untuk mencari kebahagiaan. Maka, mereka
tidak menyia-nyiakan hidupnya mencari ciptaan-ciptaan, melainkan mereka
langsung mencari Pencipta, yaitu melalui kehidupannya yang merefleksikan
kehidupan surgawi. Inilah poin utama dari rangkaian artikel ini:
kembali pada pernyataan pertama yang dibuat Aristoteles dalam Nicomachean Ethics,
bahwa semua aktivitas mengarah kepada suatu tujuan, tindakan kita harus
didasari oleh tujuan yang kita hendaki, karena dengan demikianlah
tujuan itu dapat tercapai. Mengetahui bahwa tujuan akhir manusia adalah
kesatuannya di dalam Allah, tidak ada alasan yang masuk akal bagi
manusia untuk tidak menjadi seperti orang-orang kudus: hanya melakukan
segala hal yang membawa jiwanya semakin dekat kepada Sang Sebab Pertama.
“Engkau [Allah] telah membuat kami dan menarik kami pada-Mu, dan hati
kami tidak akan tenang hingga ia beristirahat dalam Engkau” (St.
Agustinus, The Confessions I, 1).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar