Apa itu Evangelisasi?
Cara yang paling sederhana untuk memahami apakah arti evangelisasi,
adalah mengacu kepada pengajaran Paus Paulus VI tentangnya. Paus kurang
lebih mengatakan bahwa evangelisasi berarti membawa Kabar Baik tentang
Yesus kepada setiap orang dalam segala situasi dan berusaha membawa
mereka -baik secara perorangan maupun kelompok- kepada pembaruan, oleh
kuasa ilahi dari pesan Injil itu sendiri.[1]
Maka inti dari evangelisasi adalah pernyataan keselamatan di dalam
Yesus Kristus dan tanggapan dari orang yang menerima pewartaan Injil itu
dalam iman, yang keduanya adalah karya Roh Kudus. Oleh karena pusat
evangelisasi adalah Kristus, maka evangelisasi harus secara langsung
berhubungan dengan Kristus. Karena itu Paus Paulus VI berkata, “Tidak
ada evangelisasi yang sejati, kalau tidak diwartakan nama Yesus dari
Nazaret, Sang Putera Allah, ajaran-Nya, hidup-Nya, janji- janji-Nya,
Kerajaan-Nya dan misteri-Nya.”[2]
Atas dasar pengertian ini St. Paus Yohanes Paulus II merumuskannya
dengan lebih sederhana, sebagaimana diajarkan dalam Konsili Vatikan II,
yaitu evangelisasi itu berkenaan dengan masuknya kita dalam misteri
kasih Allah, yang mengundang setiap orang ke dalam hubungan yang pribadi
dengan Kristus.[3]
Karena itu, evangelisasi bukan semata penerusan ajaran, ataupun suatu
pengetahuan tentang iman yang dipahami di kepala, tetapi lebih dalam
daripada itu. Evangelisasi menyangkut perubahan keseluruhan hidup kita,
atau yang lebih dikenal dengan istilah ‘pertobatan’. Perubahan itu
terjadi karena perjumpaan kita dengan Kristus, yang mengundang kita
untuk masuk dalam kehidupan-Nya sendiri, ke dalam misteri kasih-Nya yang
tak terpahami, sebab dengan demikian kita menjadikan segala pemikiran
dan kehendak Kristus sebagai pemikiran dan kehendak kita sendiri. Dengan
demikianlah, kita kelak dapat menerima janji keselamatan kekal dalam
Kerajaan Allah, sebagaimana dijanjikan-Nya.
Ajaran serupa juga disampaikan oleh Paus Fransiskus. Ketika
menjelaskan tentang terang iman, Paus Fransiskus mengajarkan bahwa
kebenaran yang diungkapkan iman adalah kebenaran yang berpusat pada
perjumpaan dengan Kristus, pada permenungan tentang hidup-Nya dan pada
kesadaran akan kehadiran-Nya.[4]
Evangelisasi adalah yang merupakan penyampaian Kabar Baik itu,
mensyaratkan terlebih dahulu dari orang yang mewartakan, sebuah
perjumpaan pribadinya dengan Kristus yang mengubah seluruh hidupnya.
Ibaratnya, untuk membawa orang lain agar berjumpa dengan Kristus,
seseorang harus terlebih dulu berjumpa dengan Kristus.
Mengapa kita melakukan Evangelisasi?
Bagi yang sudah mengikuti KEP (Kursus Evangelisasi Pribadi), tentunya
masih ingat akan ayat Mat 28:19-20, yang disebut sebagai amanat agung,
pesan Yesus yang terakhir sebelum Ia naik ke Surga. “…Pergilah,
jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa
dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang
telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu
senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (Mat 28:19-20). Ayat ini menjadi
acuan akan pentingnya evangelisasi dalam kehidupan umat Kristiani.
Sebagai murid Kristus, kita dipanggil untuk mewartakan Kristus yang
telah mengubah kita, karena Kristus menghendaki agar semua orang dapat
diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran (lih 1 Tim 2:4).
Apa itu prinsip Evangelisasi?
Atas dasar pengertian di atas, kita mengetahui bahwa ada tiga prinsip
yang harus ada dalam evangelisasi, yaitu, pertama adalah mengalami
Kristus, kedua, mengikuti Kristus sebagai murid-Nya, dan yang ketiga
adalah membagikan Kristus, baik melalui perkataan maupun perbuatan dalam
kehidupan kita. Untuk melaksanakan ketiga prinsip ini, diperlukan
kerendahan hati dan totalitas, agar evangelisasi itu dapat berdaya guna,
baik bagi kita yang melakukannya, maupun bagi orang-orang yang menerima
pewartaan Injil-Nya.
Bunda Maria, Model Evangelisasi
Untuk maksud melaksanakan tugas evangelisasi inilah, kita melihat
kepada Bunda Maria sebagai teladan kita. Sebab dalam diri Bunda Maria,
ketiga prinsip evangelisasi dapat kita lihat secara nyata dan sempurna
dalam kehidupannya. Oleh karena itu, kita menyebut Bunda Maria sebagai
Mobdel Evangelisasi, sebab ia telah mendahului kita dalam hal
melaksanakan perintah Tuhan untuk mewartakan Kristus melalui teladan
hidupnya.
Bunda Maria mengalami Kristus
Dengan dipilihnya sejak awal mula, bahwa Bunda Maria menjadi ibu yang
mengandung dan melahirkan Kristus, Bunda Maria telah mengalami
kepenuhan rahmat Allah, sejak terbentuknya dalam kandungan ibunya.
Malaikat Gabriel diutus Allah untuk menyampaikan Kabar Gembira ini
menyatakan hal ini dengan mengatakan, “Salam, hai engkau yang dikaruniai
(full of grace / ‘kecharitomene’), Tuhan menyertai
engkau” (Luk 1:28). Salam sang malaikat itu, yang mengatakan kepada
Maria, “Salam, hai engkau yang dipenuhi rahmat…” (lih. Luk 1:28),
menyatakan penghormatan yang istimewa kepada Bunda Maria. Pertama,
karena perkataan “Salam”, atau, “Hail” (χαίρω/chaírō) ini bukan ungkapan salam biasa seperti kata ‘selamat pagi’. Kata “Salam/ Hail”
ini hanya muncul lagi dalam Injil, sebagai salam penghormatan kepada
Kristus (lih. Mat 26:49, 27:29; Mrk 15:18; Yoh 19:3). Tentu penggunaan
kata “Salam” kepada Bunda Maria ini, tidak menyatakan kesetaraannya
dengan Kristus, namun kita mengetahui bahwa ucapan “Salam” tersebut
adalah ungkapan penghormatan yang istimewa. Kedua, tidak pernah ada
satupun tokoh manusia dalam Kitab Suci, entah dari Perjanjian Lama
ataupun Perjanjian Baru, yang diberi salam hormat oleh malaikat utusan
Tuhan. Yang umum terjadi adalah sebaliknya: manusia menghormati
malaikat, seperti ketika Abraham sujud sampai ke tanah untuk menghormati
ketiga orang tamunya (lih. Kej 18:2) yang datang dengan menyampaikan
perkataan janji Tuhan akan kelahiran anak laki-laki baginya (lih. Kej
18:10). Atau, Yakub yang meminta malaikat itu untuk memberkatinya (lih.
Kej 32:26). Juga, Tobit dan Tobia yang sujud di hadapan malaikat Rafael
ketika mereka mengetahui bahwa ia ternyata bukanlah salah seorang
kerabat mereka, namun adalah malaikat yang diutus Tuhan (lih. Tob
12:13-16). Maka jika malaikat Tuhan datang kepada Bunda Maria, dan
kemudian memberikan salam hormat yang belum pernah diucapkan sebelumnya
kepada siapapun, tentu kita mengetahui bahwa Bunda Maria adalah
seseorang yang istimewa.
‘Kecharitomene’ sendiri artinya adalah ‘engkau yang telah
dan tetap dikaruniai rahmat dengan sempurna, sepenuhnya’. Para Bapa
Gereja, terutama mereka yang berbahasa Yunani, seperti St. Gregorius
Thaumaturgus (205-270), St. Yohanes Sang Teolog (400), dan St. Theodotus
dari Ancyra (awal abad 5), mengartikan kepenuhan rahmat Allah ini
sebagai kekudusan yang sempurna, sehingga tidak ada lagi ruang bagi
dosa. St. Theodotus mengajarkan: “Perawan yang tak berdosa, tidak
bernoda, tanpa cacat, tanpa tersentuh, tanpa cela, kudus dalam tubuh dan
jiwa, seperti bunga lili yang mekar di antara semak duri …. Bahkan sebelum kelahiran Kristus, ia telah dikuduskan bagi Allah
… Murid yang kudus, … bijaksana di dalam pikiranmu, bersatu dengan
Tuhan di dalam hatimu, perkataanmu layak dipuji, tetapi terlebih lagi
perbuatanmu….”[5]
Ajaran para Bapa Gereja dari Yunani ini, menegaskan apa yang telah
diajarkan oleh para Bapa Gereja pendahulu mereka, seperti St. Irenaeus
(180), St. Hippolytus (235), Origen (244), St. Ephraim (361), St.
Athanasius (373), St. Ambrosius (387), St. Gregorius (390), yang telah
mengajarkan tentang kekudusan dan ketaatan Bunda Maria. Bunda Maria
disebut sebagai Hawa yang baru yang bekerjasama dengan Kristus sebagai
Adam yang baru, dan Tabut Perjanjian Baru yang mengandung Kristus,
sebagai penggenapan Perjanjian Lama.
Warta Kabar Gembira, yang disampaikan oleh malaikat kepada Bunda
Maria, juga menyatakan karya Allah Tritunggal dalam rencana-Nya untuk
mengutus Kristus Putera-Nya ke dunia. “Roh Kudus akan turun atasmu dan
kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang
akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah.” (Luk 1:35) Dalam
peristiwa Inkarnasi Kristus, Bunda Maria dinaungi oleh kuasa Allah Bapa;
dan ia menerima Roh Kudus yang turun atasnya; sehingga ia mengandung
dan melahirkan Kristus Sang Putera Allah. Dengan ketaatannya, Bunda
Maria menerima Sang Putera Allah, yaitu Sang Sabda sehingga Sabda itu
dapat menjelma menjadi manusia. Karena ketaatan Maria itulah, maka dapat
dikatakan bahwa Bunda Maria pertama- tama menerima Sang Sabda itu di
dalam hatinya, sebelum ia mengandung Kristus di dalam rahimnya.
Maka, sungguh tak terkatakan persatuan yang erat antara Bunda Maria
dengan Kristus. Selama sembilan bulan Bunda Maria mengandung Kristus,
yang didalamnya terkandung kepenuhan ke-Allahan (Kol 2:9). Bunda Maria
melahirkan Kristus, membesarkan-Nya, hidup di bawah satu atap dengan-Nya
selama sekitar 30 tahun. Bunda Maria menyertai Dia dalam tiga tahun
karya publik-Nya, sampai pada saat kematian Yesus di kayu salib. Bunda
Maria selalu ada dalam persekutuan dengan Puteranya sejak awal
kehidupan-Nya sebagai manusia di dunia ini, sampai saat wafat-Nya,
kebangkitan dan kenaikan-Nya ke Surga. Setelah itu, Bunda Maria terus
menyertai para rasul-Nya dan berdoa bersama-sama mereka, saat menantikan
turunnya Roh Kudus di hari Pentakosta, yang menyatakan kelahiran
Gereja. Maka Bunda Maria, adalah anggota pertama Gereja, yang mengalami
kepenuhan Kristus dengan cara yang istimewa dan satu-satunya.
Pertanyaan bagi kita adalah: Sudahkah kita mengalami kehadiran
Kristus di dalam hidup kita? Melalui kejadian hidup sehari-hari, kita
dapat mengalami kehadiran-Nya. Kehadiran Tuhan Yesus yang paling nyata
bagi kita umat Katolik adalah melalui Ekaristi kudus. Dengan menerima
Ekaristi kita juga mengalami kehadiran-Nya dalam tubuh dan jiwa kita.
Dengan demikian, kita dijadikan serupa -walau tentu tidak sama- dengan
Bunda Maria, yang juga bersatu dengan Kristus, dalam tubuh dan jiwa.
Yesus juga hadir dalam doa-doa kita, dalam permenungan Sabda-Nya dalam
Kitab Suci dan dalam perjumpaan kita dengan sesama. Karena itu, besarlah
peran doa permenungan misteri kehidupan Kristus, seperti dalam doa-doa
Rosario, Jalan Salib, atau dalam doa-doa devosi lainnya. Doa-doa
tersebut mengangkat kita untuk masuk dalam kehidupan Kristus sendiri,
dan dengan demikian mengalami kasih-Nya dengan begitu nyata semasa kita
hidup di dunia. St. Paus Yohanes Paulus II mengajarkan bahwa doa Rosario
adalah “ringkasan Injil” yang merupakan salah satu doa yang diarahkan
untuk kontemplasi akan wajah Kristus. Pengalaman perjumpaan dengan
Kristus ini, yang sejatinya dialami dalam keheningan dan doa, kemudian
menjadi dasar bagi perkembangan kita untuk semakin mengenal Kristus,
agar kita dapat hidup mengikuti kehendak-Nya dan mewartakan kasih-Nya. [6]
Bunda Maria mengikuti Kristus
Pemilihan Bunda Maria sebagai seorang wanita yang melahirkan Kristus
memang terjadi atas inisiatif Allah, yang memberikan kepenuhan rahmat
kepadanya, namun rahmat tersebut juga ditanggapi dengan sempurna oleh
Bunda Maria. Bunda Maria adalah seorang perempuan yang taat kepada hukum
Taurat (lih. Gal 4:4). Karena ketaatannya kepada Allah, Bunda Maria
menerima Sabda Allah yang disampaikan kepada-Nya oleh malaikat Gabriel,
dan kemudian menaatinya. Itulah sebabnya Kristus mengatakan demikian
tentang ibu-Nya, “Ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku ialah mereka, yang
mendengarkan firman Allah dan melakukannya.” (Luk 8:21)
Belajar dari teladan Bunda Maria, sudah saatnya kita bertanya kepada
diri kita sendiri, “Sudahkah aku setia mendengarkan sabda Tuhan dan
melaksanakannya?” Setia mendengarkan sabda Tuhan berawal dari hal kecil
dan sederhana, yaitu, setia membaca Kitab Suci setiap hari dan
merenungkannya. Apakah hal ini sudah kita lakukan? Sebab untuk
melaksanakan sabda Tuhan, kita perlu untuk mengetahuinya terlebih
dahulu, entah dengan cara mendengarkan ataupun membaca sabda-Nya itu;
dan kemudian meresapkannya, supaya menjadi kesatuan dengan hati dan
pikiran kita. Sungguh ini merupakan undangan dan sekaligus tantangan
bagi kita semua!
Bunda Maria membagikan Kristus
Menyampaikan Kristus kepada dunia
Oleh ketaatan Bunda Maria, Kristus Sang Sabda dapat menjelma menjadi
manusia. Karena itu, betapa dalamlah makna perkataan Bunda Maria:
“Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut
perkataanmu itu” (Luk 1:38). Sebab dengan perkataan ini, Maria
menyatakan kesempurnaan kehendak bebasnya, dan menyerahkan diri
seutuhnya kepada kehendak Allah, dan tergenapilah rencana Allah untuk
menjadikannya sebagai Bunda yang melahirkan Kristus Putera-Nya. Dengan
kesediaan Bunda Maria ini, ia menyampaikan Kristus kepada dunia, dan
dunia kepada Kristus.
Sesungguhnya kitapun dipercaya oleh Allah untuk tugas ini, yaitu
untuk menyampaikan menyampaikan Kristus kepada dunia di sekitar kita.
Pertanyaannya, sudahkah kita melakukannya? Sudahkah kita ikut serta
mengambil bagian dalam karya evangelisasi ke seluruh dunia? Melalui doa
dan karya kerasulan kita?
Menyampaikan Kristus kepada mereka yang membutuhkan
Secara khusus, Bunda Maria mempunyai kepekaan untuk memperhatikan dan
menolong mereka yang sedang membutuhkan pertolongan. Setelah menerima
Kristus di dalam hatinya dan di dalam rahimnya, Bunda Maria segera
mengunjungi Elisabet saudaranya, yang sedang mengandung dalam usia yang
lanjut. Kedatangan Bunda Maria membawa sukacita, bukan saja bagi
Elisabet, namun juga kepada anak di dalam kandungannya, yaitu Yohanes
Pembaptis. Bukankah demikian yang dikatakan oleh Elisabet kepada Bunda
Maria, “Sebab sesungguhnya, ketika salammu sampai kepada telingaku, anak
yang di dalam rahimku melonjak kegirangan.” (Luk 1:44)
Maka pengalaman kita berjumpa dengan Kristus adalah suatu pengalaman
yang diberikan untuk dibagikan. Sebab pengalaman kebersamaan kita dengan
Kristus adalah pengalaman yang mendatangkan suka cita, dan dapat
mendatangkan suka cita juga bagi mereka yang menerima pewartaan kita.
Sudahkah kita memberi kegembiraan kepada anggota keluarga, lingkungan
ataupun komunitas, paroki, dan sesama kita yang lain? Sudahkah kita
menerima Kristus dalam Ekaristi dan membagikan Kristus kepada pada
orang-orang di sekitar kita, terutama mereka yang sedang membutuhkan
bantuan?
Bunda Maria juga menunjukkan kepekaannya akan kebutuhan sesamanya
dalam peristiwa perkawinan di Kana. Ia melihat kebutuhan tuan rumah
yang mengundangnya: “Ketika mereka kekurangan anggur, ibu Yesus berkata
kepada-Nya: “Mereka kehabisan anggur.” (Yoh 2:3) Bunda Maria senantiasa
melihat setiap orang yang tersisih dan berkekurangan. Ia bersegera
menolong dan menyampaikan kebutuhan tersebut kepada Yesus Puteranya.
Bunda Maria memberikan teladan kepada kita, agar kita menemukan,
adakah orang yang tersisih dalam keluarga ataupun lingkungan kita?
Apakah yang sudah kita lakukan untuk mereka? Mari belajar dari Bunda
Maria untuk menjadi orang yang peka akan kebutuhan sesama dan bergegas
pula menawarkan pertolongan, entah dengan tindakan, perkataan, atau doa.
Teladan Bunda Maria dalam evangelisasi
Kerendahan hati Bunda Maria
Sebagai hamba Tuhan
Peran serta Bunda Maria di awal kehidupan Kristus di dunia diawali
dengan kerendahan hatinya, saat ia mengatakan, “Sesungguhnya aku ini
adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk 1:38).
Bunda Maria menempatkan diri sebagai hamba Tuhan, walaupun telah dipilih
untuk menjadi Bunda Putera Allah yang Mahatinggi. Bunda Maria telah
terlebih dahulu melaksanakan apa yang kemudian diajarkan oleh Tuhan
Yesus, “Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan
kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak
berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.” (Luk 17:10)
Apakah dalam setiap kehidupan sehari-hari: di rumah, di tempat kerja,
di komunitas dan paroki, kita telah menempatkan diri sebagai hamba
Allah? Apakah kita sudah menjadi orang yang rendah hati dan tidak
sombong?
Tidak minta diistimewakan
Kerendahan hati Bunda Maria juga nampak dari kesediaannya untuk
melakukan segala ketentuan yang berlaku, tanpa meminta keistimewaan,
walaupun sesungguhnya keadaannya adalah khusus dan istimewa. Bunda Maria
tetap mengikuti ketentuan Taurat Musa tentang seorang wanita yang baru
melahirkan, “Dan ketika genap waktu pentahiran, menurut hukum Taurat
Musa, mereka membawa Dia ke Yerusalem untuk menyerahkan-Nya kepada
Tuhan” (Luk 2:22).
Menjadi permenungan bagi kita, teladan kerendahan Bunda Maria ini.
Sebab terdapat kecenderungan manusiawi bahwa seseorang yang istimewa
menuntut perlakuan istimewa. Namun di sini Bunda Maria menunjukkan
teladan yang sebaliknya. Walaupun ia telah dipilih oleh Allah Pencipta
untuk mengandung dan melahirkan Putera-Nya dengan kuasa Roh Kudus -dan
karena itu ia sesungguhnya tetap murni dan tak memerlukan pentahiran-
namun Bunda Maria tetap memenuhi ketentuan Taurat Musa, karena ia tidak
menuntut perlakuan istimewa, tidak ingin meninggikan diri ataupun
menarik perhatian. Bunda Maria menempatkan diri sebagai hamba Allah yang
tersembunyi, dan tidak dikenal secara istimewa oleh orang-orang
sezamannya.
Menjadi pertanyaan bagi kita: Apakah kita menuntut keistimewaan
ketika kita melayani? Apakah kita mau mengikuti aturan yang berlaku dan
menjalankannya dengan sukacita?
Menyimpan segala perkara dalam hati dan merenungkannya
Selain dari tidak menuntut perlakukan istimewa, teladan kerendahan
hati Bunda Maria nampak dari kesederhanaannya dan kesediaannya untuk
menyimpan segala perkara di dalam hatinya. “Tetapi Maria menyimpan
segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya” (Luk 2:19,51).
Di dalam proses menyimpan di dalam hati inilah, kita melihat bahwa Bunda
Maria menerima segala perkara yang terjadi dalam kehidupannya dan
merenungkan maknanya. Bunda Maria menerima keadaannya yang sederhana dan
miskin, tak mengeluh saat harus melahirkan di kandang yang hina dan
ditolak oleh sanak saudaranya. Namun ia juga mengalami penghiburan dari
Tuhan, saat para gembala dan orang majus menyembah Putera-nya dan para
malaikat menyanyikan kidung pujian bagi-Nya. Saat mempersembahkan Yesus
di bait Allah, Bunda Maria merenungkan nubuat Simeon, bahwa kelak pedang
akan menembus jiwanya. Bersama Yusuf suaminya, Bunda Maria harus
mengungsi ke tanah Mesir dengan membawa bayi Yesus. Sekembalinya dari
tanah Mesir, mereka hidup sebagai keluarga kecil dan sederhana di
Nazaret. Bunda Maria juga mengalami kekhawatiran luar biasa saat
kehilangan Yesus di bait Allah saat Ia berumur 12 tahun, dan mungkin
juga keterkejutan ketika menemukan-Nya, Yesus malah berkata bahwa Ia
harus selalu berada dalam rumah Bapa-Nya, dan dengan demikian mengatakan
bahwa bait Allah itulah rumah-Nya yang sesungguhnya. Namun di antara
semua pengalaman hidupnya, Bunda Maria selalu menyimpannya di dalam hati
dan merenungkannya. Ia menghayatinya bahwa segala sesuatu yang terjadi
merupakan bagian dari rencana Allah yang terbesar, dan ia menyediakan
dirinya untuk mengambil bagian dalam rencana Allah itu.
Apakah kita juga menyimpan di dalam hati dan merenungkan segala hal
yang Tuhan izinkan terjadi dalam hidup kita? Maukah kita menerima ajaran
iman kita: belajar dan merenungkan misteri iman Katolik dan mengambil
bagian di dalamnya?
Menghantar sesama kepada Kristus
Akhirnya, kerendahan hati Bunda Maria juga ditunjukkan dengan
bagaimana ia mengarahkan sesamanya kepada Kristus. Dalam pesta
perkawinan di Kana, saat ia mengetahui bahwa tuan rumah kehabisan
anggur, ia berkata kepada para pelayan, “Apa yang dikatakan kepadamu,
buatlah itu!” (Yoh 2:5). Bunda Maria tidak mengarahkan perhatian orang
kepada dirinya yang menemukan keadaan kekurangan itu, tetapi mengarahkan
perhatian kepada Puteranya. Bunda Maria menyadari sepenuhnya bahwa ia
adalah seorang hamba Tuhan, dan tugasnya adalah menyampaikan kebutuhan
sesamanya kepada Puteranya, yang dapat melakukan segala sesuatu. Dalam
kerendahan hati, Bunda Maria mengandalkan Tuhan Yesus, dan ia percaya
bahwa Puteranya itu mampu menolong mereka yang sedang berkekurangan itu.
Dan mukjizat Tuhan diperoleh dengan diikutinya perintah Yesus, dan Ia
mengubah air yang telah ditempatkan di tempayan-tempayan itu menjadi
anggur. Dan dengan demikian Kristus menyatakan kemuliaan-Nya dan
murid-murid-Nya percaya kepada-Nya.
Mari kita merenungkan dalam keseharian kita, apakah kita sudah
membawa sesama kita kepada Kristus? Atau malah sebaliknya, kita sering
mencari pujian dan perhatian kepada diri kita sendiri? Apakah kita telah
melayani Tuhan dengan motivasi untuk memuliakan Tuhan?
Totalitas Bunda Maria
Dengan kesediaannya menjadi ibu yang mengandung, melahirkan Kristus
dan membesarkan-Nya, Bunda Maria mempersembahkan seluruh hidup-Nya
kepada rencana Allah. Ia selalu menyertai Kristus, sejak kelahiran-Nya
sampai wafat-Nya. “Dan dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya …” (Yoh 19:25).
Bunda Maria tetap setia menyertai Kristus saat hampir semua murid-Nya
meninggalkan Dia, ketika Ia diperlakukan sebagai penjahat dan dijatuhi
hukuman mati, padahal Ia sama sekali tidak melakukan kesalahan apapun.
Bunda Maria tetap percaya bahwa Puteranya tidak seperti yang dituduhkan.
Bunda Maria tetap percaya akan janji Tuhan meskipun ia melihat seolah
kebalikan dari apa yang dikatakan oleh malaikat itu kepadanya. Di kaki
salib itu, Bunda Maria mempersembahkan segalanya -termasuk Puteranya-
kepada Allah Bapa.
Penyerahan total Bunda Maria kepada rencana Allah, membuat kita
memeriksa batin: “Tetap setiakah aku kepada Kristus, terutama di
saat-saat sulit dalam hidupku? Di saat segala sesuatu yang terjadi tidak
sesuai dengan harapanku, apakah aku tetap percaya akan janji Tuhan
bahwa ia akan memberikan yang terbaik kepadaku? Apakah aku telah
mempersembahkan diriku seluruhnya kepada Tuhan?”
Bunda Maria, teladan evangelisasi, tuntunlah kami kepada Kristus
Evangelisasi intinya adalah menyampaikan Kristus kepada sesama agar
mereka mengalami perjumpaan dengan Kristus. Oleh karena itu, Bunda Maria
menjadi teladan kita, karena ia-lah yang paling pertama yang telah
melakukannya, dan ia telah melakukannya dengan sempurna. Oleh
ketaatannya, rencana keselamatan Allah dapat terlaksana. Bunda Maria lah
yang telah mengalami Kristus, mengikuti-Nya sebagai murid-Nya yang
pertama, dan yang membagikan Kristus kepada dunia, sehingga dunia dapat
percaya dan datang kepada Kristus. Dengan kerendahan hati dan pemberian
diri yang total, Bunda Maria telah turut mengambil bagian dalam karya
keselamatan Allah.
Kita masing-masing pun dipanggil untuk mengambil bagian dalam karya
keselamatan Allah itu, yaitu agar kita mengalami Kristus, mengikuti Dia
dan membagikan-Nya kepada sesama, agar semakin bayak orang percaya,
mengenal Kristus dan mengasihi Dia. Semoga Tuhan Yesus membantu kita,
agar kita dapat melakukannya dengan cara kita masing-masing.
[1] Lih. Paus Paulus VI, Ekshortasi Apostolik, Evangelii Nuntiandi, 18.
[2] Paus Paulus VI, Evangelii Nuntiandi, 22.
[3] St. Paus Yohanes Paulus II, Redemptoris Missio, 44
[4] Lih. Paus Fransiskus, Lumen Fidei, 30
[5] Theodotus, Homily 6:11 dalam Fr. Luigi Gambero, Mary and the Fathers of the Church, (Ignatius Press, 2006), p. 268.
[6] Lih. St. Paus Yohanes Paulus II, Surat Apostolik, Rosarium Virginis Mariae, 18.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar