Selasa, 31 Oktober 2017

Perjumpaan Iman dan Akal Budi



“Karena itu di rumah ibadat ia bertukar pikiran dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang yang takut akan Allah…dan juga beberapa ahli pikir dari golongan Epikuros dan Stoa” (Kis 17:17-18)

Kalimat di atas menunjukkan bahwa sejak zaman para Rasul: awal pewartaan iman kristiani telah terjadi perjumpaan iman dengan aliran-aliran filsafat yang berkembang saat itu. Dalam teks Kis. 17:17-18 diperlihatkan bagaimana mereka mengadakan diskusi tentang iman dan akalbudi (ilmu pengetahuan) untuk mencari kebenaran. Para rasul dan jemaatnya berdiskusi bahkan berdebat dengan para ahli filsafat seperti Stoa dan Epikuros.
Ilmu membebaskan dari ketakutan (Epikuros)
Epikuros adalah seorang filsuf Yunani yang dilahirkan tahun 341 SM. Epikuros berbeda dengan Aristoteles yang mengutamakan penyelidikan ilmiah. Epikuros menggunakan pengetahuan yang diperolehnya dan penyelidikan ilmu yang sudah dikenal sebagai alat untuk membebaskan manusia dari ketakutan agama. Ketakutan terhadap agama dimaksud adalah adanya rasa takut kepada dewa- dewa yang ditanam dalam hati manusia oleh agama orang Yunani lama. Menurut Epikuros ketakutan kepada agama itulah yang menjadi penghalang besar untuk memperoleh kesenangan hidup. Jadi aliran filsafat Epikuros diarahkan kepada satu tujuan memberikan jaminan kebahagiaan kepada manusia. Bagi Epikuros logika melihat kehidupan adalah semua yang kita pandang/ lihat itu adalah benar. Logika harus melahirkan norma untuk pengetahuan dan kriteria tentang apa itu kebenaran. Pandangan adalah kritetia yang paling tinggi untuk menentukan kebenaran. Kebenaran dicapai dengan pemandangan dan pengalaman. Pemikiran kedua Epikuros adalah fisika. Teori fisika diciptakan oleh manusia untuk membebaskan manusia dari kepercayaan sia-sia kepada dewa-dewa. Dia berpendapat bahwa dunia ini bukan dijadikan dan dikuasai oleh dewa-dewa melainkan oleh gerakan hukum fisika. Segala yang terjadi dan dipandang di dunia ini disebabkan oleh penyebab kausal dan mekanis. Manusia harus merdeka menentukan nasibnya sendiri dan tidak dikuasai oleh dewa-dewa. Epikuros dalam Kisah Para Rasul itu berdebat dengan orang beriman soal kehadiran Allah. Epikuros dengan tegas mengajarkan bahwa manusia sesudah mati tidak hidup lagi (bertentangan dengan paham iman Kristiani yang percaya adanya kebangkitan orang-orang mati). Hidup adalah peristiwa yang sementara saja yang tidak bernilai harganya, maka hidup ditujukan untuk mencari kesenangan. Pemikiran ketiga dari Epikuros adalah etik. Ajaran etik tidak terlepas dari ilmu fisika yang ia ciptakan. Pokok ajaran etikanya adalah mencari kesenangan hidup, yang diartikan sebagai kesenangan ragawi dan kepuasan batin.
Penyempurnaan moral manusia (Stoa)
Stoa dalam Kisah para rasul 17:17-18 adalah seorang filsuf Yunani yang hidup tahun 340 SM. Dia seorang saudagar yang belajar filsafat di akademi dibawah pimpinan Xenocrates murid Plato yang terkenal. Stoa artinya ruangan, karena di ruangan penuh ukiran dia mengajarkan pelbagai ilmu pengetahuan. Tujuan utama dari ajaran Stoa adalah menyempurnakan moral manusia. Pokok ajaran filsafat Stoa adalah bagaimana manusia hidup selaras dengan keharmonisan dunia sehingga kebajikan adalah akal budi yang lurus. Akal budi yang sesuai dengan keselarasan/ keharmonisan dunia. Pada akhirnya manusia akan mencapai citra hidup manusia yang bijaksana yaitu hidup sesuai dengan jalan pikir alam semesta. Tentang logika, pemikiran Stoa tidak jauh berbeda dengan Epikuros yakni untuk memperoleh kriteria tentang kebenaran. Kebenaran adalah pemandangan yang menggambarkan barang yang dipandang sehingga orang yang memandang itu membenarkan dan menerima isi yang dilihatnya. Fisika kaum Stoa memberi pelajaran tentang alam tetapi juga tentang Teologi. Tentang etik Stoa, ini adalah inti dari filsafatnya. Maksud etiknya adalah mencari dasar-dasar umum untuk bertindak dan hidup yang tepat. Kemudian melaksanakan dasar-dasar itu dalam penghidupan. Kemerdekaan moral seseorang adalah dasar dari segala etik Stoa.
Iman dan Akal budi saling melayani
Pengetahuan kodrati dari Epikuros dan Stoa dapat menjerumuskan manusia ke dalam paham atheis, dengan pandangan mereka yang menolak adanya paham kebangkitan orang-orang mati. Epikuros dan Stoa memiliki pandangan yang hedonis, yaitu mencari kesenangan badani dalam hidup, dan ini berlawanan dengan ajaran iman kristiani. Sebagai umat kristiani kita tidak boleh melupakan dua hal pokok menanggapi pelbagai kemajuan akal budi manusia yakni pengertian kodrati akan Allah dan suara hati nurani. Seperti ditulis dalam surat Paulus kepada jemaat di Roma. “Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka… Apa yang tidak nampak dari pada-Nya yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih” (Roma 1: 19-20). Perjumpaan akal budi (pengetahuan) dalam aliran filsafat sejak Gereja perdana dengan Teologi (pewartaan iman Kristiani) menjadi penting untuk disimak. Pemikir Kristiani bersikap kritis dalam menjawab gagasan filsafat Yunani. Adalah Origenes [Bapa Gereja di abad ke-2] yang menggunakan filsafat Platonis untuk menyusun argumen dan bentuk teologi Kristiani. Dia unggul dalam menangkis serangan filsuf Yunani dengan gagasan Teologi yang bernalar rasional. Kebenaran ilmu pengetahuan bertumpu pada akal budi tetapi teologi Kristiani bertumpu pada wahyu Kristiani. Kebenaran kristiani membawa penyelamatan dan berpuncak pada pewahyuan tentang Kristus. Karena itu perjumpaan ilmu pengetahuan (akal budi) dan pemahaman akan Allah (Teologi) harus saling melayani dan mendukung. Sebab jika tidak, keduanya akan menuai kepicikan dan ketimpangan ilmu yang bertujuan untuk kesejahteraan dan kebaikan umat manusia.

Apa artinya menjadi Katolik?

 

 “Kamu masih Katolik?”

Pertanyaan ini mungkin terdengar janggal, tetapi pertanyaan ini pernah ditanyakan kepada saya belasan tahun yang lalu, oleh teman masa kecil saya. Sewaktu remaja dulu, kami pernah sama-sama aktif di paroki, menjadi anggota Legio Mariae dan anggota salah satu koor di paroki kami. Kini ia telah berpindah ke gereja non-Katolik, karena konon ia lebih dapat bertumbuh secara rohani di sana. Dia begitu antusias mengisahkan pengalaman barunya di komunitas tersebut, dan kemudian menanyakan pertanyaan yang mengusik hati saya, “Kalau kamu bagaimana, masih Katolik, ya?” Seolah menjadi Katolik itu sesuatu keputusan yang kurang tepat dan harus diubah. Saya menjawabnya lirih, “Ya, saya masih Katolik, dan saya akan tetap Katolik….” Tapi saya tidak tahu bagaimana melanjutkan kalimat itu. Saya bersyukur, seiring dengan berjalannya waktu, melalui ajaran iman dan pengalaman hidup, sedikit demi sedikit, kutemukan jawabannya….

Menjadi Katolik artinya menerima dengan iman, wahyu Tuhan dan undangan-Nya kepada persatuan dengan-Nya

Sebagai murid Kristus, kita tidak hanya mengikuti sebuah buku, tetapi Seorang Pribadi, yaitu Yesus Kristus. Itulah sebabnya kita disebut sebagai “Christ-ian” atau Kristiani/ Kristen. Pribadi yang kita ikuti dan kita jadikan pusat dalam hidup kita ini, adalah Pribadi yang mengasihi kita, yang menyatakan kasih-Nya itu dan mewahyukan Diri-Nya secara penuh kepada kita. Karena kasih-Nya yang sempurna inilah, Kristus ingin terus tinggal di tengah kita dan bersekutu/ bersatu dengan kita. Sebab kasih selalu menginginkan kebersamaan. Kristus menghendaki kebersamaan atau persekutuan antara kita dengan Dia, atas dasar kasih dan kebenaran, sebab Ia Allah yang adalah Sang Kasih (1 Yoh 4:8) dan Kebenaran (Yoh 14:6). Maka menjadi Katolik, pertama-tama adalah menanggapi dengan iman, pewahyuan Allah dan undangan-Nya kepada persatuan (komuni) dengan-Nya. Maka, menjadi Katolik adalah menjadi seorang Kristiani, titik. Sebab seorang Kristiani sudah seharusnya menerima segala yang diwahyukan Allah di dalam Kristus.
Iman yang dimaksud di sini, menurut Konsili Vatikan II,[1] Katekismus[2], dan pengajaran Paus Yohanes Paulus II[3] adalah iman yang terdiri dari dua unsur. Yang pertama adalah unsur pribadi, yaitu percaya kepada Allah, akan segala kasih dan kebijaksanaan-Nya, sehingga kita mau menyerahkan diri kita tanpa syarat kepada-Nya. Dengan kata lain, kita lebih percaya akan kebijaksanaan Allah daripada kebijaksanaan diri sendiri untuk menentukan kebahagiaan kita, dan kita lebih percaya akan kuasa rahmat-Nya daripada kekuatan sendiri untuk mencapainya. Yang kedua adalah unsur obyektif, yaitu kita percaya akan isi wahyu yang diberikan Tuhan, dan memegangnya sebagai sesuatu yang ilahi. Maka unsur pertama adalah percaya kepada Allah yang mewahyukan dan unsur kedua adalah percaya kepada apa yang diwahyukan-Nya. Dengan demikian, iman dapat digambarkan dengan perkataan ini: “Kalau Tuhan yang saya percayai sebagai Pribadi yang baik, penuh cinta kasih, dan bijaksana, telah mewahyukan sesuatu kepada saya, maka atas hormat dan kasih kepada-Nya, saya mau menerima apa yang diwahyukan-Nya itu.”

Keempat Tanda Gereja sejati: satu, kudus, katolik, apostolik

Iman Katolik mengajarkan bahwa Tuhan yang kepada-Nya kita percaya, telah berbicara melalui Kristus, Putera-Nya (lih. Ibr 1:1-4). Sebab Allah mewahyukan bahwa Ia yang dalam Perjanjian Lama juga disebut sebagai Yahweh, Adonai, atau Yehovah, adalah satu dan sama hakekatnya dengan Yesus Kristus, sebab Kristus mengatakan, “Bapa dan Aku adalah satu.” (Yoh 10:30). Kristus yang sama ini mendirikan Gereja-Nya (lih. Mat 16:18) yang oleh kuasa Roh Kudus, diberi karunia kesatuan, kekudusan, keseluruhan dan kesinambungan dengan jalur apostolik di sepanjang sejarah. Dengan mendirikan Gereja-Nya, dan memberikan kuasa kepada Gereja untuk membaptis dan mengajarkan semua perintah-Nya (lih. Mat 28:19-20), Kristus menjadikan Gereja sebagai sarana yang perlu untuk keselamatan.
Peran Gereja sebagai tanda dan sarana keselamatan, di mana Allah terus melaksanakan karya penyelamatan-Nya, secara sempurna dinyatakan dalam perayaan Ekaristi. Itulah sebabnya dikatakan bahwa Gereja lahir dari Ekaristi, dan Ekaristi lahir dari Gereja. Sebab Gereja lahir/ memperoleh hidupnya dari pengorbanan Kristus.  Sakramen-sakramen sebagai peringatan akan pengorbanan Kristus itu- terus menghidupi Gereja, dan Gereja terus menghadirkannya.[4]

Tanda apostolik menjamin kesatuan, kekudusan dan kekatolikan Gereja

Mungkin ketiga tanda Gereja yaitu satu, kudus dan katolik (universal), lebih mudah diterima, daripada tanda yang terakhir, yaitu apostolik. Namun sejujurnya tanda yang keempat ini merupakan tanda yang paling jelas menunjukkan bahwa seperti halnya dahulu Kristus hadir secara aktif di tengah para Rasul, kini, Ia-pun hadir secara aktif di tengah Gereja-Nya. Meskipun Ia sudah bangkit dan naik ke surga, Kristus tetap hadir dan melanjutkan misinya di dunia, di dalam Gereja dan melalui Gereja. Maka ada hubungan yang tak terpisahkan antara Kristus dan Gereja. Gereja itu satu, kudus dan katolik, sebab Kristus itu satu, kudus dan katolik, dan Ia kini tetap hadir dalam Gereja-Nya sampai akhir zaman.
Bahwa Kristus dapat hadir di tengah umat-Nya dalam berbagai cara, namun ada satu cara yang dikehendaki-Nya, dan menjadi pusatnya. Pusat ini adalah kehadiran Kristus yang nyata dalam Ekaristi, yang menjadi sumber dan puncak kehidupan kita sebagai umat Kristiani (lih. KGK 1324). Iman Katolik mengajarkan bahwa terdapat hubungan yang tak terpisahkan antara sifat apostolik dengan kehadiran Kristus yang nyata dalam Ekaristi. Paus yang adalah penerus Rasul Petrus, menjadi tanda yang menghubungkan Gereja masa kini dengan Gereja di zaman para Rasul. Sebagai prinsip yang menyatukan, Paus menjamin kesatuan kolese para Uskup -yang adalah penerus para Rasul- yang menjadi tanda kesatuan antara Gereja partikular/ lokal dengan Gereja universal. Kesatuan ini bukan hanya semata saling mengakui keberadaan masing-masing, atau sebagai hasil hubungan timbal balik antara gereja-gereja. Namun kesatuan ini adalah kesatuan yang timbul dari dalam, yang hasilnya adalah hadirnya Gereja universal dengan semua elemen dasarnya, di dalam setiap gereja-gereja partikular tersebut.
Kehadiran Kristus secara nyata dalam Gereja, secara khusus dalam Ekaristi dijamin oleh karunia sifat apostolik yang melayani ketiga tanda Gereja: kesatuan, kekudusan dan kekatolikan. Kristus yang hadir secara aktif atas kuasa Roh Kudus yang telah mengurapi para rasul dan para penerus mereka, itulah yang menjadikan Gereja sebagai sakramen kesatuan dan keselamatan bagi umat manusia. Ekaristi dan kesatuan dalam kepemimpinan Paus bukanlah akar yang terpisah bagi kesatuan Gereja, sebab Kristus menentukan keduanya untuk saling berhubungan satu sama lain. Kepemimpinan Paus adalah satu, seperti Ekaristi adalah satu: yaitu satu Korban dari satu Kristus, yang wafat dan bangkit. Maka dalam setiap perayaan Ekaristi, dilakukanlah dan ditunjukkanlah kesatuan, tidak saja dengan Uskup sebagai penerus para Rasul, tetapi juga dengan Paus sebagai penerus Rasul Petrus sang pemimpin para Rasul, dengan semua imam dan semua umat beriman yang adalah anggota Kristus, dan di atas semua itu, dengan Kristus yang adalah Kepalanya.

Menjadi Katolik artinya mempercayakan diri kepada Tuhan melalui Gereja

Gereja Katolik memahami peran otoritas apostolik sebagai iman akan janji Kristus yang akan menyertai Gereja-Nya, yang dibuktikan juga oleh banyak tanda sepanjang sejarah, yang menunjukkan betapa Kristus menjaga Gereja dan menghindarinya dari ajaran-ajaran yang menyimpang. Oleh iman inilah, kita menyerahkan diri kepada Allah melalui Gereja, sebab demikianlah yang dikehendaki oleh Allah.
Prinsip pengantaraan Gereja ini bukanlah hal yang baru atau mengada-ada. Sepanjang sejarah umat pilihan, Allah menghendaki bahwa kesetiaan kepada-Nya diukur juga dari kesetiaan kepada para nabi atau pengantara yang ditunjuk olah-Nya. Setia kepada Allah di zaman Perjanjian Lama, berarti juga setia kepada Nabi Musa. Keduanya tak terpisahkan, sebagaimana tertulis dalam Kel 14:31. Kesetiaan kepada para nabi berarti penerimaan terhadap apa yang dikatakan oleh mereka. Tuhan menganggap bahwa penolakan terhadap ajaran para nabi merupakan penolakan terhadap-Nya, seperti nyata dalam penolakan terhadap Nabi Yeremia (lih. Yer 7:25-26). Di masa Yohanes Pembaptis, jawaban “Ya” terhadap panggilan Tuhan dinyatakan dengan persetujuan untuk dibaptis (lih. Mrk 1:4; Luk 3:3) dan penerimaan terhadap pesannya yang memberitakan kedatangan Kristus, Sang Anak Domba Allah (lih. Yoh 1:29,36).
Kristus menghubungkan penerimaan ataupun penolakan terhadap diri-Nya dan Bapa yang mengutus-Nya, dengan penerimaan ataupun penolakan terhadap mereka yang diutus oleh-Nya (lih. Luk 10:16). Maka Gereja mengajarkan bahwa kesetiaan kepada Kristus ditunjukkan dengan penerimaan keseluruhan kehendak-Nya (lih. Mat 28:19-20), termasuk pengantaraan Gereja apostolik yang didirikan-Nya (lih. Mat 16:16-19). Dengan kata lain, persetujuan iman terhadap Kristus mengambil bentuk konkritnya dalam persetujuan terhadap semua yang telah dinyatakan dan didirikan oleh-Nya, termasuk Gereja-Nya.

Menjadi Katolik artinya setia kepada Tuhan, Kristus, Gereja dan diri sendiri

Rasul Yohanes mengajarkan bahwa kesetiaan kepada Tuhan diukur dari kesetiaan kepada keseluruhan pengajaran yang dikenali sebagai wahyu ilahi sejak awal mula (lih. 1 Yoh 2:24). Jika Allah menghendaki agar kita menerima ajaran-Nya dengan menerima ajaran para nabi yang mencapai puncaknya pada penggenapannya dalam diri Kristus, kita menerima kehendak Allah ini, dengan menerima Kristus sepenuhnya. Sebab Kristus sepenuhnya menyatakan Allah dan kasih-Nya kepada kita (Kol 1:19; 2:9), sehingga Rasul Paulus mengatakan bahwa Kristus adalah segalanya (lih. Kol 3:11). Maka penerimaan Kristus sepenuhnya ini termasuk dengan menerima segala ajaran-Nya dan menjadi anggota Gereja yang didirikan-Nya. Jika Kristus menjamin kuasa mengajar Gereja yang dilaksanakan oleh para rasul, secara khusus, oleh Rasul Petrus dan para penerus mereka, maka demi ketaatan kita kepada Kristus, kita mentaati juga ajaran Gereja-Nya tersebut. Sebab kita mengingat perkataan Kristus sendiri kepada para murid-Nya, “Barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku; dan barangsiapa menolak kamu, ia menolak Aku; dan barangsiapa menolak Aku, ia menolak Dia yang mengutus Aku.” (Luk 10:16).
Dengan ketaatan yang menerima keseluruhan Kristus dan ajaran-Nya ini, maka seorang Katolik memberikan kata “Ya” tanpa syarat dalam iman kepada Allah. Pemberian persetujuan iman tanpa syarat ini, menjadi tanggapan yang mendamaikan bagi hati kita sebagai manusia yang senantiasa resah/ gelisah, sampai kita beristirahat di dalam Tuhan.[5] Sebab dengan menyerahkan pemahaman kita kepada Kristus melalui Gereja-Nya, kita tidak lagi perlu gelisah menginterpretasikan banyak hal menurut pemahaman sendiri, yang dapat berbeda-beda antara satu orang dengan yang lain, bahkan bertentangan, terhadap suatu topik pengajaran yang sama. Dengan menerima sepenuhnya pengajaran Gereja, kita memperoleh kepenuhan makna ajaran Kristus, dan ini menghasilkan ketenangan bagi jiwa. Menarik jika kita menyimak tayangan Journey Home di situs EWTN (Eternal Word Television Network) yang mengisahkan tentang pencarian akan kepenuhan kebenaran yang membawa kepada Gereja Katolik, silakan klik. Di sana ada lebih dari 700 kisah kesaksian dari mereka yang non-Katolik, bahkan banyak di antaranya pendeta, yang akhirnya menjadi Katolik karena setia mencari apa yang dirindukan oleh hati nurani mereka sendiri, yang membawa mereka menemukan ‘rumah’ mereka yang sesungguhnya di Gereja Katolik.

Menjadi Katolik artinya menjadi anggota Gereja yang lahir dari Hati Kudus Yesus

Namun bagi saya sendiri, pengalaman yang tak terlupakan dan begitu mengena di hati saya, adalah ketika saya mendengar dan merenungkan kutipan pengajaran dari St. Yohanes Krisostomus tentang Gereja. Ia mengajarkan demikian:
“Mengalir dari rusuk-Nya, air dan darah”. Saudara saudari terkasih, jangan lewatkan misteri ini tanpa permenungan; ini mempunyai makna lainnya yang tersembunyi, yang akan kujelaskan kepadamu. Telah kukatakan bahwa air dan darah menandakan Pembaptisan dan Ekaristi kudus. Dari kedua sakramen ini, Gereja dilahirkan: dari Pembaptisan, [yaitu] “air pembasuh yang memberikan kelahiran kembali dan pembaharuan melalui Roh Kudus”, dan dari Ekaristi kudus. Karena simbol Pembaptisan dan Ekaristi mengalir dari rusuk-Nya, maka dari rusuk-Nyalah Kristus membentuk Gereja, seperti Ia telah membentuk Hawa dari rusuk Adam. Nabi Musa telah memberikan secercah tanda tentang hal ini, ketika ia menceritakan kisah tentang manusia pertama dan membuat Adam mengatakan: “Tulang dari tulangku dan daging dari dagingku!” Sebagaimana Tuhan mengambil sebuah tulang rusuk dari rusuk Adam untuk membentuk seorang perempuan, demikianlah Kristus telah memberikan kepada kita darah dan air dari rusuk-Nya untuk membentuk Gereja. Tuhan mengambil tulang rusuk tersebut ketika Adam sedang tertidur lelap, dan dengan cara yang sama Kristus memberikan darah dan air setelah kematian-Nya sendiri.
Maka, tidakkah kamu mengerti, betapa Kristus telah mempersatukan Mempelai-Nya dengan diri-Nya sendiri, dan santapan apakah yang Ia berikan kepada kita semua untuk kita makan? Dengan santapan yang satu dan sama, kita dilahirkan dan diberi makan. Seperti seorang wanita memberi makan anaknya dengan air susu dan darahnya sendiri, demikianlah Kristus terus menerus memberi Darah-Nya sendiri kepada mereka yang kepadanya Ia telah menyerahkan hidup-Nya.”[6]
Sudah lama saya mendengar bahwa Gereja adalah Mempelai Kristus, tetapi saya tidak menyadari sedemikian eratnya hubungan Kristus dengan Gereja-Nya, sampai saya membaca tulisan St. Yohanes Krisostomus ini. Kristus adalah Adam yang baru, dan Gereja adalah Hawa yang baru, yang dibentuk dari rusuk/lambung Kristus, yang dihubungkan juga dengan hati kudus-Nya—sebab maksud prajurit itu menikam adalah menikam jantung hati Kristus, untuk memastikan kematian-Nya. Hubungan Kristus dan Gereja sebagai Adam dan Hawa yang baru, merupakan penggenapan sempurna kisah Adam dan Hawa yang telah dikisahkan dalam Perjanjian Lama.
St. Yohanes Krisostomus bukan Bapa Gereja pertama yang mengajarkan bahwa Gereja lahir dari tubuh Kristus, sebagaimana Hawa dari tubuh Adam. St. Irenaeus (abad ke-2) mengajarkan bahwa Gereja bagaikan aliran mata air yang mengalir dari tubuh Kristus, dan dari air ini kita memperoleh santapan kehidupan.[7] St. Ambrosius juga mengajarkan demikian, sebagaimana dikutip dalam Katekismus:
KGK 766        Tetapi Gereja muncul terutama karena penyerahan diri Kristus secara menyeluruh untuk keselamatan kita, yang didahului dalam penciptaan Ekaristi dan direalisasikan pada kayu salib. “Permulaan dan pertumbuhan itulah yang ditandakan dengan darah dan air, yang mengalir dari lambung Yesus yang terluka di kayu salib.”[8] “Sebab dari lambung Kristus yang berada di salib, muncullah Sakramen seluruh Gereja yang mengagumkan.”[9] Seperti Hawa dibentuk dari rusuk Adam yang sedang tidur, demikian Gereja dilahirkan dari hati tertembus Kristus yang mati di salib.[10]
Pengajaran para Bapa Gereja ini membuka mata rohani saya, bahwa sejak awal mula, Allah telah merencanakan kesempurnaan ciptaan-Nya, dengan mempersatukan semua umat manusia ciptaan-Nya di dalam Kristus dan Gereja. Tiba-tiba pengajaran di Katekismus menjadi ‘make sense‘ buat saya, setelah merenungkan penggenapan kisah Adam dan Hawa di dalam diri Kristus dan Gereja sebagai Adam dan Hawa yang baru. Sebagaimana manusia pertama—Adam dan Hawa—menjadi puncak karya penciptaan Allah, demikianlah Kristus dan Gereja menjadi puncak karya keselamatan Allah. Persatuan manusia dengan Kristus tercapai secara sempurna dalam diri Bunda Maria, maka tak mengherankan, jika dalam tulisan yang lain para Bapa Gereja menyebut Bunda Maria juga sebagai Hawa yang baru. Sebab Bunda Maria adalah anggota pertama dan utama dari perkumpulan umat manusia di dalam Kristus, yang kemudian disebut Gereja.
KGK 760        “Dunia diciptakan demi Gereja”, demikian ungkapan orang-orang Kristen angkatan pertama.[11] Allah menciptakan dunia supaya mengambil bagian dalam kehidupan ilahi-Nya. Keikut-sertaan ini terjadi karena manusia-manusia dikumpulkan dalam Kristus, dan “kumpulan” ini adalah Gereja. Gereja adalah tujuan segala sesuatu.[12] Malahan peristiwa-peristiwa yang menyakitkan hati, seperti jatuhnya para malaikat dan dosa manusia, hanya dibiarkan oleh Allah sebagai sebab dan sarana, untuk mengembangkan seluruh kekuatan tangan-Nya dan menganugerahkan kepada dunia cinta-Nya yang limpah ruah:
“Sebagaimana kehendak Allah adalah satu karya dan bernama dunia, demikian rencana-Nya adalah keselamatan manusia, dan ini namanya Gereja.”[13]
Gereja yang dimaksud di sini adalah satu-satunya Gereja yang didirikan Kristus di atas Rasul Petrus (lih. Mat 16:18), dan bahwa Kristus menjamin akan menyertainya sampai akhir zaman (Mat 28:19-20). Sebagaimana hanya ada satu Hawa yang dibentuk dari Adam, demikian pula hanya ada satu Gereja yang dibentuk dari Kristus. Maka Gereja tak pernah terpisah dari Kristus. Gereja bukan sesuatu yang dibentuk sendiri oleh beberapa orang beriman, dan kemudian diklaim sebagai Gereja Kristus. Gereja adalah suatu ‘pemberian’ dari Kristus dan dibentuk sendiri oleh Kristus, yang ditandai oleh darah dan air yang mengalir keluar dari lambung-Nya yang terluka di kayu salib. Maka rencana Allah untuk mempersatukan seluruh dunia di dalam Kristus sudah ada sejak awal mula, namun rencana ini baru mulai terwujud pada saat Gereja dibentuk dari air dan darah yang keluar dari lambung Yesus yang tertikam di salib. Gereja ini kemudian ditampilkan kepada dunia pada hari Pentakosta, dengan datangnya Roh Kudus.[14] Satu-satunya Gereja yang didirikan oleh Kristus di atas Rasul Petrus, yang masih ada sampai sekarang di bawah pimpinan penerus Rasul Petrus adalah Gereja Katolik. Jika Kristuslah yang mendirikan Gereja ini, dan yang telah menyerahkan nyawa-Nya baginya, maka sudah selayaknya saya memutuskan untuk menjadi anggota Gereja-Nya ini.
Maka menjadi Katolik bagi saya tidaklah semata suatu kebetulan, karena dilahirkan oleh orang tua yang Katolik. Saya menjadi Katolik karena ingin mentaati Allah sepenuhnya, yang telah mewahyukan melalui Kristus, segala ajaran-Nya dan undangan-Nya untuk bersatu dengan-Nya dan dengan sesama umat manusia, di dalam Kristus dan melalui Gereja yang didirikan-Nya, yaitu Gereja Katolik.
Tuhan, bantulah aku untuk setia pada imanku ini, sampai akhir hayatku.


[1]Lih. Konsili Vatikan II, Konstitusi tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum 5: “Kepada Allah yang menyampaikan wahyu manusia wajib menyatakan “ketaatan iman” (Rm 16:26; lih. Rm 1:5 ; 2Kor10:5-6). Demikianlah manusia dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan “kepatuhan akalbudi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang mewahyukan”, dan dengan secara sukarela menerima sebagai kebenaran wahyu yang dikurniakan oleh-Nya. Supaya orang dapat beriman seperti itu, diperlukan rahmat Allah yang mendahului serta menolong, pun juga bantuan batin Roh Kudus, yang menggerakkan hati dan membalikkannya kepada Allah, membuka mata budi, dan menimbulkan “pada semua orang rasa manis dalam menyetujui dan mempercayai kebenaran”. Supaya semakin mendalamlah pengertian akan wahyu, Roh Kudus itu juga senantiasa menyempurnakan iman melalui kurnia-kurnia-Nya.
[2]Lih. KGK 143: “Melalui iman, manusia menaklukkan seluruh pikiran dan kehendaknya kepada Allah. Dengan segenap pribadinya manusia menyetujui Allah yang mewahyakan Diri (Bdk. DV 5). Kitab Suci menamakan jawaban manusia atas undangan Tuhan yang mewahyukan Diri itu “ketaatan iman” (Bdk. Rm 1:5; 16:26). Dan KGK 144: “Taat [ob-audire] dalam iman berarti menaklukkan diri dengan sukarela kepada Sabda yang didengar, karena kebenarannya sudah dijamin oleh Allah, yang adalah kebenaran itu sendiri. Sebagai contoh ketaatan ini Kitab Suci menempatkan Abraham di depan kita. Perawan Maria melaksanakannya atas cara yang paling sempurna.
[3]Lih. Paus Yohanes Paulus II, dalam Audiensi Umum, Maret 13, 1985: “Percaya berarti menerima dan mengakui sebagai kebenaran dan kesesuaian dengan kenyataan, isi dari apa yang dikatakan, yaitu, isi dari yang dikatakan oleh seseorang yang lain (atau beberapa orang yang lain) karena kredibilitas orang itu. Maka, dengan mengatakan “Aku percaya”, kita menyatakan dua buah acuan pada saat yang sama: kepada orangnya, dan kepada kebenaran [yang dikatakan]-nya; kepada kebenarannya dengan memperhatikan pribadi orang yang mempunyai kredibilitas yang istimewa tersebu.”
[4]Lih. KGK 1118: Sakramen-sakramen adalah Sakramen “Gereja” dalam arti ganda, karena mereka ada “melalui dia” dan “untuk dia”. Mereka ada “melalui Gereja” karena Gereja adalah Sakramen karya Kristus, yang bekerja di dalamnya berkat perutusan Roh Kudus. Dan mereka itu “untuk Gereja”; mereka adalah “Sakramen-sakramen, yang olehnya Gereja didirikan” (Agustinus, De civ. Dei 22,17, Bdk. Thomas Aquinas, Summa Theologica III,64, 2 ad 3), karena mereka memberikan dan membagi-bagikan kepada manusia, terutama dalam Ekaristi, misteri persekutuan dengan Allah, Dia yang adalah cinta kasih, Dia yang esa dalam tiga Pribadi.
[5]St. Augustine, Confessions (Lib 1,1-2,2.5,5: CSEL 33, 1-5): “You have made us for yourself, O Lord, and our heart is restless until it rests in you.”
[6]St. John Chrysostom, A Homily for Holy Friday, The Blood and Water from His side, (+ AD 407).
[7]St. Irenaeus, Adversus Haereses, III, 24, 1: PG 7, 966 mengajarkan: “Mereka yang tidak mengambil bagian dalam Roh Kudus, tidak dapat memperoleh dari pangkuan ibu mereka [Gereja] santapan kehidupan; mereka tak menerima apapun dari mata air yang murni yang mengalir dari tubuh Kristus.”
[8]Konsili Vatikan II, Lumen Gentium 3.
[9]Sacrosanctum Concilium 5.
[10]Bdk. Santo Ambrosius, Luc. II, 85-89, PL 15, 1666-1668.
[11]Hermas, Vision. 2,4, 1; Bdk. Aristides, Apol. 16,6; Yustinus, Apol. 2,7.
[12]Bdk. Epifanius, Haer. 1,1,5.
[13]St, Klemens dari Aleksandria, Paed. 1,6,27:PG 8, 281.
[14]Lih. KGK 767: “Sesuai tugas, yang diberikan Bapa kepada Putera untuk ditunaikan di dunia, diutuslah Roh Kudus pada hari Pentakosta, agar ia senantiasa menyucikan Gereja” (Lumen Gentium 4). Ketika itu “Gereja ditampilkan secara terbuka di depan khalayak ramai dan dimulailah penyebaran Injil di antara bangsa-bangsa melalui pewartaan” (Ad Gentes 4). Sebagai “perhimpunan” semua manusia menuju keselamatan, Gereja itu misioner menurut kodratnya, diutus oleh Kristus kepada segala bangsa, untuk menjadikan semua orang murid-murid-Nya (Bdk. Mat 28:19-20; Ad Gentes 2;5-6)

Dari mana asalnya Kitab Suci?

Mungkin di sepanjang segala abad, tak ada buku yang lebih unik dan paling dibicarakan orang selain dari Kitab Suci. Walau sejumlah orang meragukannya, ataupun membencinya, namun Kitab Suci tetap terbukti merupakan buku yang paling banyak dibaca orang sepanjang sejarah. Walaupun di sepanjang sejarah ada banyak orang bermaksud melenyapkan Kitab Suci – seperti sejumlah kaisar Romawi di abad-abad awal yang mengeluarkan dekrit untuk membakar semua Kitab Suci- toh kenyataannya ada saja salinan Kitab Suci yang tetap ‘survive‘ dan Kitab Suci tetap eksis sampai sekarang. Voltaire, seorang seorang tokoh Enlightenment dari Perancis, yang dikenal karena sikap skeptiknya terhadap Gereja, konon pernah memperkirakan bahwa di abad ke -19, Kitab Suci akan menjadi buku antik yang hanya dipajang di museum. Namun faktanya, perkiraan Voltaire meleset jauh, sebab yang terjadi adalah sebaliknya. Setelah wafatnya, nama Voltaire dan tulisannya mungkin hanya dikenal dalam buku sejarah, tetapi Kitab Suci masih tetap hidup dan dibaca banyak orang setiap hari, dan menjadi pegangan bagi kehidupan banyak orang, sampai saat ini.

Bible: Kitab yang suci

Bible berasal dari kata Yunani, biblos atau biblon. Kita mengenal kata ‘bible‘ dalam artinya sekarang dari St. Hieronimus di abad ke-4, yang menyebutnya sebagai “the Holy Books“, atau “the Books“, ta biblia. Persamaan kata dari the Holy Bible adalah the Holy Scriptures, yang mengacu kepada kitab-kitab yang dikenal sebagai sabda Allah yang merupakan satu kesatuan dalam kesinambungan ilahi.

Unik dalam penulisannya, unik dalam pelestariannya

Sejak dari penulisannya sampai juga kepada pelestariannya, Kitab Suci mempunyai ciri khasnya tersendiri, yang tidak dimiliki oleh buku-buku lainnya.
Ke- 73 kitab dalam Kitab Suci ditulis dalam rentang waktu berabad-abad, sekitar 1600 tahun, yang ditulis oleh sekitar 50 orang yang berbeda dari negara ataupun tempat yang berbeda. Namun semuanya menuliskan rencana keselamatan Allah yang mengacu dan mengerucut kepada Kristus. Kitab-kitab Perjanjian Lama menjabarkannya secara samar-samar, entah melalui nubuat maupun gambaran tokoh-tokohnya, namun kitab-kitab Perjanjian Baru menyampaikan penggenapannya secara jelas dan sempurna, di dalam Kristus Sang Putera Allah yang menjelma menjadi manusia. Koherensi atau keselarasan semua bagian dari kitab-kitab ini yang ditulis oleh banyak penulis yang berbeda sepanjang rentang abad yang cukup panjang- sekitar 17 abad ini- membuktikan bahwa kitab ini bukan semata karya tulis manusia, namun Allah sendiri-lah yang menginspirasikan penulisannya.

Buku yang berasal dari perkataan Sabda

Kita hidup di zaman tulisan, entah lewat media buku atau sekarang, melalui internet. Maka sulit bagi kita untuk membayangkan bahwa Kitab Suci itu asalnya adalah dari perkataan lisan. Berikut ini adalah penjelasan yang disarikan dari buku What is the Bible, karangan Henri Daniel- Rops ((Cf. Henri Daniel- Rops, What is the Bible, The Twentieth Century Encyclopedia of Catholicism, volume 60, (New York: Hawthorn Books, 1959) p. 14-25)):
Kitab Suci kita yang nampaknya relatif seragam sekarang, sebenarnya berasal dari komponen-komponen yang beragam. Ada saatnya di mana sebelum kalimat-kalimat tersebut dicetak dalam buku, perkataan tersebut pertama-tama didaraskan kepada para pendengar oleh para pembawa Kabar Gembira. Maka jauh sebelum dicetak, Kitab Suci pada awalnya merupakan ajaran lisan. Bentuknya adalah kisah narasi, yang disampaikan dengan pola tertentu, yaitu dengan ritme tertentu dan puisi bersajak, rangkaian kata-kata bijak yang ringkas, ataupun dengan pengulangan kata-kata tertentu yang sama. Hal ini memungkinkan teks tersebut dapat diturunkan dari generasi ke generasi, ketika bahasa tulisan belum menjadi alat komunikasi yang umum. Ini sejalan dengan keadaan budaya, spiritualitas dan sastra dalam masyarakat di mana Kitab Suci berasal. Kitab Suci bertumbuh dalam pola masyarakat yang komunal dan tidak individual, sebagai sesuatu yang spontan dan hidup; jauh berbeda dengan budaya kertas di zaman modern, di mana bahasa tulisan menjadi sesuatu yang otomatis dan umum. Agaknya sulit bagi kita untuk membayangkan bahwa ada suatu zaman dalam sejarah, di mana masyarakat dapat hidup tanpa ketentuan baku yang tertulis.
Dalam kehidupan masyarakat Israel kuno, sampai zaman Kristus, keadaannya sangat berbeda dengan zaman kita. Masyarakat saat itu terbiasa untuk berbicara dengan fasih berdasarkan kemampuan mengingat akan suatu fakta/ kebenaran. Maka sistem pendidikan saat itu bertujuan mendidik para murid, agar mempunyai ingatan seperti seumpama sumur, yang tidak membiarkan setetes-pun dari ajaran gurunya menghilang ke luar. Maka ini dilihat dari seni menghafal dan menyusun suatu komposisi teks. Ada ritme ataupun pengulangan kata-kata tertentu, atau kemiripan bunyi, untuk membantu agar teks menjadi lebih mudah untuk diingat. Kita mengetahui bahwa ajaran sudah ada jauh sebelum dituliskan, seperti halnya nubuat-nubuat nabi Yeremia yang sudah diajarkan secara lisan tujuh puluh dua tahun lamanya sebelum ajaran itu dituliskan dalam kitab. Demikian juga halnya dengan kitab-kitab nubuat lainnya, kitab Mazmur dan kitab Kidung Agung.
Namun demikian, bukan berarti bahwa di zaman itu, elemen tertulis tidak ada sama sekali. Kitab Suci sendiri secara tidak langsung menyebutkan adanya suatu kitab tertentu. Di kitab Yosua, disebutkan adanya “Kitab Orang Jujur” (Yos 10:13). Dewasa ini setelah penemuan-penemuan arkeologis dari Sinai ke Ras Shamra, diketahui adanya tulisan-tulisan Kitab Suci sejak abad ke-sepuluh dan keduabelas sebelum masehi. Sejak zaman Nabi Musa di Mesir, tulisan telah menjadi penggunaan umum di daerah sungai Nil selama lima belas abad. Namun demikian, elemen-elemen tulisan ini hanya menjadi alat bantu untuk mengingat, sebelum elemen-elemen tersebut dikompilasikan menjadi kitab-kitab seperti yang kita kenal sekarang.
Proses yang sama terjadi pada kitab Perjanjian Baru, yaitu Injil, Kisah Para Rasul, Surat-surat Rasul dan Kitab Wahyu. Surat-surat Rasul Paulus didiktekan, dan di sini gaya lisan timbul. Juga, kitab-kitab Injil jelaslah merupakan ajaran lisan, sebelum dituliskan. Generasi pertama Gereja hidup dari ketergantungan terhadap ajaran lisan ini. Selama empat atau lima generasi Kristen mendengarkan Injil sebagai kisah yang diturunkan melalui perkataan lisan, oleh para saksi yang kredibel. Sekitar tahun 130, ketika keempat pengarang Injil telah menuliskan kitab-kitab mereka, St. Papias, Uskup Hierapolis di Phyrgia menegaskan bahwa bagaimanapun juga, ia lebih menghargai suara/ ajaran lisan dari para Rasul yang telah hidup dan berakar dalam Gereja. ((Cf. St. Papias, Fragment of Papias, Ch. I. From the Exposition of the Oracles of the Lord, in Ante-Nicene Fathers: St. Papias berkata, “Maka, jika siapapun yang telah mendengarkan pengajaran para tua-tua datang, aku bertanya dengan serinci-rincinya tentang apakah yang mereka ajarkan, – apa yang dikatakan oleh St. Andreas, atau St. Petrus, atau apakah yang dikatakan oleh Filipus, atau Tomas, atau Yakobus, atau oleh Yohanes, atau Matius, atau oleh para murid Tuhan lainnya…. Sebab aku membayangkan bahwa apa yang harus diperoleh dari kitab-kitab tidaklah sedemikian bergunanya bagiku, seperti apa yang datang dari suara/ ajaran lisan yang telah hidup dan menetap.)) Demikian pula, St. Irenaeus di Lyons, mengenang hari-hari ketika ia biasa mendengarkan St. Polycarpus, Uskup agung Smyrna, apapun yang didengarnya sendiri dari St. Yohanes Rasul. Namun demikian, demi kepentingan membimbing mereka yang meneruskan kitab Injil, dan keinginan untuk menghindari deviasi, kesalahan, distorsi, maka akhirnya Injil dituliskan.

Transisi menjadi ajaran yang tertulis

Transisi dari ajaran lisan menjadi tulisan juga menyisakan pertanyaan-pertanyaan. Yang pertama adalah soal waktu, yaitu pada titik mana teks tersebut ditulis? Pada teks Perjanjian Lama, terdapat kemungkinan tiga kali periode penulisan yang intensif: 1) Pada zaman Hezekiah/ Ezechias (Hizkia) anak Raja Ahaz, kemungkinan ajaran lisan maupun tulisan di Kerajaan Selatan (Yehuda) disusun, untuk dibandingkan dengan ajaran- ajaran yang dikumpulkan oleh Kerajaan Utara (Israel), yang dibawa oleh para ahli Samaritan, yang melarikan diri ke Yerusalem di sekitar tahun 722 SM (lih. Ams 25:2). 2) Di zaman Yosia, ditemukan kitab Ulangan dan versi lengkap yang pertama dari kelima kitab Musa atau Pentateuch. Karya ini diselesaikan setelah orang-orang Israel kembali dari zaman pengasingan, ketika Raja Cyrus (Koresh) di tahun 538 memperbolehkan kaum sisa Israel yang dibuang di Babilon untuk kembali ke negara mereka dan mendirikan semacam negara kecil di bawah perlindungan negara Persia. 3) Seperti Nehemia di sekitar tahun 455 membangun kembali tembok Yerusalem, Esdras (Ezra) membangun tembok benteng rohani, yaitu Bible/ Kitab Suci. Dikatakan bahwa ia mendiktekan kitab-kitab suci dan membuat bangsa tersebut mengikuti ketentuan-ketentuannya. Di abad kelima sebelum Masehi ini, versi-versi kuno yang berupa fragmen dikumpulkan, ajaran lisan dituliskan dan semua elemen yang bervariasi ini disusun menjadi koheren. Terhadap susunan Kitab Suci inilah, kemudian ditambahkan sejumlah kecil teks-teks rohani yang berasal dari abad-abad sesudahnya.
Fakta tentang Kitab Perjanjian Baru, kemungkinan lebih dikenal. Sebagaimana jelas tertulis di dalamnya, Kisah para Rasul, Surat-surat dan Kitab Wahyu merupakan teks yang dituliskan atau didiktekan. Sedangkan untuk keempat Injil, transisi dari perkataan mulut menjadi kitab terjadi dalam waktu yang berbeda, untuk alasan yang berbeda dan dalam keadaan yang berbeda. Kesaksian Papias mengatakan demikian: “Matius adalah yang pertama menuliskan perkataan Tuhan dalam bahasa Ibrani.” Maka diperkirakan Rasul Matius yang dulunya adalah pemungut cukai, adalah yang pertama menuliskan Injilnya, di sekitar tahun 50-an dengan bahasa Aram. Segera setelah itu, St. Petrus, yang saat itu di Roma, diikuti oleh Markus, seorang muda Yahudi yang mengenal bahasa Yunani. Dengan mendengarkan Rasul Petrus, Markus menulis apa yang didengarnya, dan membandingkan catatannya dengan bantuan ingatan banyak orang/ saksi pada saat itu, dan di tahun 55-62 menuliskan Injilnya.  Injil Markus ini ditulis dalam bahasa Yunani popular dan ditujukan untuk umat Kristen golongan bawah di Roma. Pada saat yang bersamaan, Lukas, seorang tabib/ dokter yang terpelajar yang menjadi teman seperjalanan Rasul Paulus tiba di Roma. Ia telah belajar banyak dari Rasul Paulus dan sepanjang waktu ia tinggal di Yerusalem telah mengumpulkan informasi langsung dari para saksi, termasuk kemungkinan dari Bunda Maria sendiri. Lukas lalu menuliskan Injilnya dalam bahasa Yunani yang sempurna dan ditujukan pertama-tama kepada orang-orang yang terpelajar yang ada disekitar Rasul Paulus. Kitab Injil-injil Yunani ini kemudian mulai dikenal orang, dan Rasul Matius juga kemudian menerjemahkan Injilnya dari bahasa Aram ke bahasa Yunani, kemungkinan sekitar tahun 64-68. Sedangkan Injil yang keempat, dari Rasul Yohanes, ditulis di Efesus setelah ketiga Injil yang lain ditulis. Injil Yohanes merupakan campuran antara kenangan, dokumentasi dan permenungan spiritual dan biasanya diperkirakan ditulis pada akhir abad pertama, kemungkinan sekitar 96-98. Urutan penulisan Injil sedemikian: Matius, Markus, Lukas dan Yohanes, dicatat dalam kesaksian St. Irenaeus, murid St. Polycarpus yang adalah murid Rasul Yohanes. ((lih. St. Irenaeus, Against the Heresies, Book III, ch 1,1))

Dalam bahasa apa Kitab Suci ditulis?

Secara umum terdapat tiga bahasa asli Kitab Suci:
1. Bahasa Ibrani, digunakan dalam kitab-kitab yang berasal dari tradisi Yahudi. Penemuan Dead Sea Scroll semakin memperkuat hal itu. Komunitas Essenes masih menggunakan bahasa Ibrani dalam naskah kitab-kitab mereka.
2. Bahasa Aram, yang berkaitan dengan bahasa Semitik, yaitu dialek bahasa Ibrani sehari-hari. Kitab yang ditulis dalam bahasa Aram adalah Injil Matius yang mula-mula, beberapa kitab Esdras (Ezra), Daniel dan Yeremia.
3. Bahasa Yunani, yang telah digunakan di zaman sesaat sebelum zaman Kristus -seperti yang digunakan dalam Kitab kedua Makabe dan Kebijaksanaan Salomo- dan juga di zaman Kristus dan setelahnya, sehingga kemudian kitab-kitab Kristiani di abad-abad awal ditulis dalam bahasa Yunani.
Cara penulisan Kitab Suci juga berbeda-beda dari abad yang berbeda. Tulisan Ibrani kuno tidak sama dengan tulisan Ibrani di zaman sekarang. Dalam tulisan Ibrani kuno tidak ada tanda-tanda dan titik yang menunjukkan adanya huruf hidup. Sedangkan tulisan Yunani dalam teks-teks Kitab Suci lebih mirip dengan tulisan Yunani yang dikenal sekarang, hanya saja pada teks asli tersebut, para penyalin tidak menyisakan spasi ataupun pemenggalan, sehingga sering menimbulkan kesulitan tersendiri untuk membacanya, ataupun untuk menurunkannya ke abad-abad berikutnya.

Pada bahan apa Kitab Suci yang asli ditulis?

Terdapat dua bahan material yang digunakan untuk menuliskan teks Kitab Suci: Yang pertama adalah papyrus, yaitu semacam batang rumput ilalang Mesir, yang diratakan dan gabungkan dengan coating, menjadi asal usul pembuatan kertas. Material ini lebih murah, namun lebih tidak tahan lama. Yang kedua adalah bahan dari kulit binatang, yang sering dikenal dengan sebutan parchment/vellum. Bahan ini lebih tahan lama. Awalnya baik papyrus maupun vellum digabungkan menjadi gulungan (disebut scroll), namun kemudian berkembang penulisan pada lembaran vellum yang disatukan menjadi bentuk buku, dan ini disebut codex. Penyusunan menjadi codex ini sudah dimulai di abad kedua sebelum Masehi, namun kemudian menjadi populer di zaman umat Kristen.

Manuskrip Kitab Suci

Mengingat sifat bahan manuskrip yang relatif tidak tahan lama, tidaklah mengherankan jika manuskrip asli kitab-kitab Suci telah punah. Hal ini juga terjadi pada manuskrip kitab-kitab non-religius di zaman itu, seperti Homer dan Pindar. Yang kita ketahui tentang kitab-kitab itu hanyalah salinannya. Namun demikian ada kekhususan dari manuskrip Kitab Suci, jika dibandingkan dengan karya-karya tulis lain sezamannya. Jika kita membicarakan teks-teks kuno, kita mau tidak mau harus memahami fakta yang terjadi sebelum ditemukannya mesin pencetak. Teks-teks tersebut akan diturunkan ke generasi berikutnya dengan salinan-salinan. Karena disalin secara manual maka memang terdapat bahaya adanya masalah akurasi dalam proses penyalinan. Hal ini berlaku pada penyalinan karya-karya sastra zaman kuno secara umum. Mungkin tak banyak orang yang mengetahui bahwa dalam penulisan karya-karya sastra klasik yang besar, terdapat interval/ selang waktu yang cukup besar antara saat karya tersebut disusun oleh pengarangnya dan saat ditemukannya salinan manuskrip yang pertama. Umumnya selang waktu itu mencapai seribu-an tahun. Hal ini juga membuktikan suatu fakta bahwa karya-karya sastra tersebut merupakan suatu warisan lisan yang telah hidup dan berakar dalam masyarakat tertentu selama berabad-abad, sebelum kemudian menjadi suatu karya tulis yang diturunkan. Demikianlah yang terjadi pada karya-karya yang ditulis oleh pengarang Yunani, seperti Sophocles (abad ke-5 SM), dan juga Aeshylus, Aristophanes,Thucydides, dan Plato, di mana manuskrip pertama yang diketahui berjarak 1100-1400 tahun dari saat penyusunan karya tersebut oleh pengarang-nya.
Demikian juga untuk kitab-kitab suci Ibrani. Teks tertua yang ditemukan, nampaknya adalah teks yang ditemukan di sinagoga di Karasubazar di Crimea, yang kurang lebih berasal dari tahun 1000-an. Di awal abad pertengahan para rabbi yang dikenal dengan sebutan Masorete memberikan perhatian terhadap tugas memperbaiki teks dan pelafalannya, dengan memberikan tambahan huruf hidup kepada teks Ibrani kuno. Teks ini kemudian dikenal dengan sebutan Massora. Konsekuensinya, memang terdapat perbedaan di sana sini antara teks Masoretik ini dengan sejumlah salinan teks lainnya, juga dari teks yang umurnya lebih tua, seperti manuskrip Septuaginta. Kitab Septuaginta adalah terjemahan Yunani (di abad ke-3-2 SM) dari kitab-kitab Perjanjian Lama Ibrani yang digunakan di Mesir dan Israel, yang kemudian kerap dikutip dalam Kitab-kitab Perjanjian Baru. Namun demikian, secara umum, penemuan the Dead Sea Scroll di sekitar 1947, menunjukkan bahwa tingkat akurasi penyalinan kitab-kitab Perjanjian Lama tersebut sangatlah baik. The Dead Sea Scroll adalah naskah-naskah kuno -yang mengandung teks-teks Kitab Suci Perjanjian Lama- yang diperkirakan disembunyikan di gua-gua Qumran sekitar tahun 66-70, sebelum Jewish War. Teks-teks itu diperkirakan sudah eksis di abad-abad sebelumnya, yaitu diperkirakan sejak abad ke-2 atau bahkan ke- 4 sebelum Masehi. Salinan lengkap kitab Yesaya dan sebagian kitab Kejadian, Ulangan dan Keluaran- menunjukkan salinan yang sangatlah mirip atau hampir identik dengan teks yang kita kenal sekarang.
Bagaimana sekarang dengan teks dalam kitab Perjanjian Baru? Fakta menunjukkan Kitab Suci Perjanjian Baru menunjukkan bukti keotentikan yang jauh melebihi karya-karya tulis sezamannya. Sebagaimana telah disinggung di atas, keotentikan suatu tulisan bersejarah, pertama-tama dilihat dari jangka waktu antara ketika karya itu dituliskan sampai ketika manuskrip pertama ditemukan. Semakin pendek jangka waktunya, maka semakin sedikit kemungkinan kesalahan dan korupsi dari kisah kejadian yang sesungguhnya oleh kesalahan penulisan. Yang kedua, kita dapat melihat tingkat otentisitas manuskrip dari berapa banyak manuskrip original yang ada. Semakin banyak manuskrip yang ada tentang kisah kejadian yang sama, terutama jika dilakukan pada waktu yang sama, tetapi pada lokasi yang berbeda, maka akan menambah nilai integritas dan keotentikan dokumen.
Sekarang mari kita lihat melihat fakta karya tulis yang penting dalam literatur sejarah, jika dibandingkan dengan teks Injil dan kitab-kitab Perjanjian Baru:
Karya tulis Kapan ditulis Copy pertama Jangka waktu Jumlah copy
Herodotus 488-428 BC 900 AD 1,300 8
Thucydides 100 AD 1100 1,000 20
Caesar’s Gallic War 58-50 BC 900 AD 950 9-10
Roman History 59 BC-17 AD 900 AD 900 20
Homer (Iliad) 900 BC 400 BC 500 643
Injil dan PB 38-100 AD 130 AD 30-50 5000 ++ Yunani,
10,000 Latin,
9,300 bhs lain

Maka kita melihat bahwa dokumen tentang sejarah Romawi ditemukan sekitar 900 tahun atau hampir 1 millenium setelah kejadian terjadi, dan hanya ada 20 copy yang masih eksis. Sedangkan, penemuan arkeologis membuktikan bahwa manuskrip Injil ditemukan sekitar 30 tahun setelah kejadian, dan bahwa terdapat lebih dari 5500 manuskrip asli ((Robert Stewart. ed, The Reliability of the New Testament: Bart Ehrman and Daniel Wallace in Dialogue, (Minneapolis: Fortress Press, 2011), p.17.)) dalam bahasa Yunani (dan sekitar 20,000 non-Yunani) yang eksis. Kitab Injil dan Perjanjian Baru yang asli seluruhnya dituliskan dalam bahasa Yunani, karena bahasa Yunani pada saat itu merupakan bahasa yang umum dipakai, bahkan oleh kaum Yahudi. Banyaknya manuskrip Yunani yang asli tersebut dapat membantu mengidentifikasi adanya kelainan teks dan dengan demikian dapat diketahui teks aslinya. Banyaknya teks asli Perjanjian Baru juga tidak mendukung perkiraan bahwa teks tersebut dipalsukan. Sebab seseorang yang mau memalsukan harus juga mengubah beribu manuskrip yang sudah ada dan beredar di tempat-tempat yang berbeda.
Dengan melihat tabel di atas, secara obyektif kita melihat bahwa karya tulis sejarah Romawi bahkan terlihat sangat ‘minim’ jika dibandingkan dengan Injil, dari segi ke-otentikannya, akurasi dan integritasnya. Padahal orang zaman sekarang tidak mempunyai kesulitan untuk menerima sejarah Romawi tersebut sebagai kebenaran. Suatu permenungan adalah bagaimana Injil yang secara obyektif lebih ‘meyakinkan’ keasliannya dibandingkan sejarah Romawi malah mengundang perdebatan. Keaslian Injil juga kita ketahui dari tulisan Bapa Gereja, seperti St. Klemens (95) sudah mengutip ayat-ayat Injil, berarti pada saat itu Injil sudah dituliskan, demikian pula Kisah para rasul, Roma, 1 Korintus, Efesus, Titus, Ibrani dan 1 Petrus. Juga di awal abad ke-2, St. Ignatius (115) telah mengutip ayat Injil Matius, Yohanes, Roma, 1dan 2 Korintus, Galatia, Efesus, Filipi, 1 & 2 Timotius dan Titus.
Dari banyaknya manuskrip asli tersebut, memang banyak orang menyangka bahwa akan terdapat banyak perbedaan-perbedaan teks. Namun ternyata, fakta menunjukkan tidak demikian. Tingkat kesesuaian manuskrip Perjanjian Baru adalah 99.5 % (dibandingkan dengan Homer/ Iliad 95%). Kebanyakan perbedaan adalah dari segi ejaan dan urutan kata. Tidak ada perbedaan yang menyangkut doktrin yang penting yang dapat mengubah doktrin Kristiani.
Memang untuk teks Perjanjian Baru, kita mengenal salinan-salinan dari zaman yang berbeda, sehingga teks dikelompokkan menjadi tiga golongan, yaitu dengan istilah minuscule, uncials dan papyri. Minuscules adalah salinan yang diperoleh setelah abad ke-9; pada saat ini, ialah ada semacam standar penulisan teks, dan ini disebut ‘received text‘. Uncials adalah manuskrip yang ditemukan antara abad ke-4 sampai abad ke-9. Teks abad ke-4 yang terkenal adalah Codex Vaticanus (yang tersimpan di Vatikan), Codex Sinaiticus (yang ditemukan di biara Sinai, dan dibawa ke Rusia dan dijual ke British Museum). Codex Bezae di Cambrigde adalah dari abad ke-5. Codex itu sampai ke tangan seorang murid Calvin yang bernama Theodore Beza, dan diberikan kepada Universitas di Cambrigde tahun 1581. (Selanjutnya tentang banyaknya ragam codex, silakan membaca di link ini, silakan klik). Sedangkan untuk papyri, yang terkenal adalah Egerton papyrus, The Chester Beatty papyri dan papyri yang kemudian disimpan di universitas Michigan. Fragmen papyri yang terbesar, mencakup hampir keseluruhan surat-surat Rasul Paulus. Namun papyrus yang paling berharga adalah Ryland papyrus yang disimpan di Manchester, yaitu papyrus yang mengandung tulisan Injil Yohanes bab 18, yang berasal dari tahun 130, yang hampir bersamaan dengan teks aslinya yang berasal dari tahun 96-98.

Kesimpulan: Kaitan tak terpisahkan antara Tradisi Suci, Kitab Suci dan Magisterium Gereja

Pemahaman akan asal usul terbentuknya Kitab Suci harusnya semakin membantu kita untuk mengakui bahwa sesungguhnya Kitab Suci (yaitu ajaran Kristus dan para Rasul yang dituliskan), tidak terpisahkan dari Tradisi Suci (ajaran lisan dari Kristus dan para Rasul). Sebab Kitab Suci berasal dari ajaran lisan dari Kristus dan para Rasul, yang kemudian dituliskan, atas dasar kemampuan memori dari para penulisnya, dan juga pertama-tama atas dorongan Roh Kudus. Dengan kata lain, Kitab Suci mengambil sumbernya dari Tradisi Suci yang telah hidup dan berakar dalam jemaat perdana. Maka, tidak menjadi masalah, jika faktanya teks Kitab Suci yang asli/ original kemungkinan sudah punah di abad kedua, sebab ajaran yang terkandung di dalam Kitab Suci sudah ada, tetap hidup dan dilestarikan dalam kehidupan Gereja. Hal ini terlihat dari banyaknya teks Kitab Suci yang dikutip dalam tulisan para Bapa Gereja yang hidup di abad-abad awal tersebut. Inilah yang menyebabkan Kitab Suci dapat terus diturunkan dan dituliskan dengan tingkat akurasi yang tinggi, walaupun salinannya baru dapat ditemukan di abad berikutnya (sejumlah salinan teks ditemukan di tahun 130, atau mayoritas teks ditemukan dalam codices yang umumnya berasal dari abad ke-4).
Selanjutnya terbentuknya Kitab Suci juga tidak dapat dipisahkan dari proses penentuan kanonnya. Sebab tidak semua dari karya tulis di abad-abad pertama dapat dikatakan sebagai karya yang diinspirasikan oleh Roh Kudus. Magisterium Gerejalah – pertama kali oleh Paus Damasus I- yang pada tahun 382 menentukan kitab-kitab mana yang diinspirasikan oleh Roh Kudus, sehingga termasuk dalam kanon Kitab Suci. Maka Kitab Suci yang kita ketahui sekarang, berasal dari Magisterium Gereja Katolik.
Tentang sejarah kanon Kitab Suci, sudah pernah dibahas di artikel ini, silakan klik.

Lampiran:

Tabel Kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, pengarang dan perkiraan tahun penyusunannya

No  Nama Kitab  Pengarang Kitab  Perkiraan tahun penyusunan

PERJANJIAN LAMA:


A Kitab-kitab Hukum Musa

1 Kejadian Musa \  dikarang oleh Musa stl Exodus
2 Keluaran Musa  |   1600/ 1200 SM
3 Imamat Musa  | ditulis dalam beberapa tahapan
4 Bilangan Musa  |   850,750,650,450 SM
5 Ulangan Musa /




B Kitab-kitab Historis

6 Yosua NN/ Yosua sekitar 1200 SM
7 Hakim-hakim NN sekitar 1200- 970 SM
8 Ruth NN 1000-700 SM atau sebelum abad ke-6 SM
9 1 Samuel NN/ Samuel sekitar abad ke-6 SM
10 2 Samuel NN/ Samuel sekitar abad ke-6 SM
11 1 Raja-raja Yeremia 587 s/d sebelum 538 SM
12 2 Raja-raja Yeremia 587 s/d sebelum 538 SM
13 1 Tawarikh Ezra setelah 538 SM- abad 4 SM atau 250 SM
14 2 Tawarikh Ezra setelah 538 SM- abad 4 SM atau 250 SM
15 Ezra Ezra 458 SM
16 Nehemia Nehemia 445 SM
17 Tobit Tobit dan Tobias 350-170 SM
18 Yudit NN sekitar abad ke-2 SM
19 Ester Mordekhai setelah 480/465 SM
20 Ayub NN/ Musa sekitar 600- 400 SM




C Kitab-kitab Puitis dan Kebijaksanaan

21 Mazmur Daud, Musa,
Salomo, Asaph,
bani Korah, Eman,
Ethan, NN
sekitar abad ke-8 SM
22 Amsal Salomo 800 SM/sebelum abad ke-6 SM
s/d abad  ke-5 SM
23 Pengkhotbah NN/ Pseudo Salomo abad ke-3 SM
24 Kidung Agung Salomo setelah abad ke-8 SM
25 Kebijaksanaan NN/ Pseudo Salomo 200-150 SM
26 Sirakh Yeshua bin Sirakh 190-180 SM




D Kitab-kitab Nubuat
para Nabi


27 Yesaya Yesaya 742-701 SM, >539 SM, <520-473 SM
28 Yeremia Yeremia 627- <587 SM
29 Ratapan Yeremia sekitar abad ke-6 SM
30 Barukh Barukh/NN sekitar abad ke-6- 5 SM
31 Yehezkiel Yehezkiel sekitar abad ke-6 SM (592-570 SM)
32 Daniel Daniel sekitar abad ke-6 SM/ abad ke-2 SM
33 Hosea Hosea sekitar abad ke-8 SM (750-725 SM)
34 Yoel Yoel sekitar abad ke-8 SM/ abad ke-4 SM
35 Amos Amos 791-753 SM
36 Obadiah Obadiah sekitar abad ke-9 SM/ ke-6 SM/ <500 SM
37 Yunus Yunus/ NN sekitar abad ke-8 SM/ ke-7 SM
38 Mikha Mikha 740-695 SM
39 Nahum Nahum 663-612 SM
40 Habakkuk Habakkuk 610-600 SM
41 Zefanya Zefanya 640-609 SM
42 Hagai Hagai 520 SM (586-445 SM)
43 Zakaria Zakaria 520-518 SM
44 Maleakhi Maleakhi >460 SM
45 1 Makabe NN 134-104 SM
46 2 Makabe NN 124-80 SM





PERJANJIAN BARU:

47 Matius Matius 50 an
48 Markus Markus 55-62
49 Lukas Lukas 62
50 Yohanes Yohanes 90-100
51 Kisah Para Rasul Lukas 63
52 Roma Paulus 57/58
53 1 Korintus Paulus 54-57
54 2 Korintus Paulus 57
55 Galatia Paulus 57/58
56 Efesus Paulus 61-63
57 Filipi Paulus 54-57
58 Kolose Paulus 61-63
59 1 Tesalonika Paulus 50-52
60 2 Tesalonika Paulus 50-52
61 1 Timotius Paulus 65
62 2 Timotius Paulus 66-67
63 Titus Paulus 65
64 Filemon Paulus 61-63
65 Ibrani Paulus 64-67
66 Yakobus Yakobus sebelum 62
67 1 Petrus Petrus sebelum 67
68 2 Petrus Petrus sebelum 67
69 1 Yohanes Yohanes 90-100
70 2 Yohanes Yohanes 90-100
71 3 Yohanes Yohanes 90-100
72 Yudas Yudas 50-70
73 Wahyu Yohanes 60-70
Sumber:
1. Dom Orchard, gen.ed., A Catholic Commentary on Holy Scripture, (New York: Thomas Nelson and Sons, 1953)
2. Scott Hahn, gen. ed., Catholic Bible Dictionary, (New York: Double Day, 2009)
3. James D Newsome, The Hebrew Prophets, (Altanta: John Knox Press, 1984), alt. by David Twellman
4. George T. Montague SM, The Living Thought of St. Paul, (Encino, California: Benzinger Bruce & Glencoe, Inc., 1976)

Kebahagiaan Hanya di Dalam Tuhan Menurut Aristoteles

Orang-orang di masa moderen ini sulit menerima bahwa kebahagiaan hanya di dalam Tuhan; mereka menyangkal kebenaran itu dengan mengatakan bahwa pernyataan itu hanyalah ungkapan iman dan tidak bisa didemonstrasikan kebenarannya. Penyangkalan ini tidak lain adalah hasil dari lumpuhnya pendidikan modern yang memandang sebelah mata pendidikan klasik, padahal pemikiran dari orang-orang seperti Homer, Aristoteles, St. Augustine, dan St. Thomas Aquinas lah yang membentuk dunia sekarang ini. Tanpa mempelajari Aristoteles dan St. Thomas Aquinas, seseorang akan sulit menerima bahwa sesungguhnya artikel-artikel iman memiliki fondasi rasional yang begitu kokoh, termasuk mengenai “kebahagiaan hanya di dalam Tuhan.”
Dalam karyanya Nicomachean Ethics, Aristoteles (384­–322 BC) mendiskusikan tentang Etika, yaitu bagaimana seseorang itu harus hidup dan mengapa ada cara hidup yang lebih sempurna dari yang lainnya. Karya ini, walaupun seringkali dilupakan oleh pendidikan modern, adalah fondasi bagi perkembangan filosofi, politik, dan teologi sejak abad pertengahan. Dalam beberapa buku-buku awalnya dalam Nicomachean Ethics, Aristoteles mempertanyakan hal-hal fundamental, dan tema yang paling besar adalah mengenai tujuan akhir manusia (atau semua aktivitas manusia). Seperti yang biasa diterapkannya, Aristoteles menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar dengan argumen yang kokoh dan logis. Namun, ketika membahas tentang tujuan akhir manusia yang ia mengerti sebagai “kebahagiaan,” ia hanya berhenti di satu titik abstrak di mana tanpa pewahyuan Allah argumen tersebut sulit dikembangkan lebih jauh. St. Thomas Aquinas kemudian menyempurnakan pencarian jawaban dari pertanyaan “apakah tujuan akhir manusia” dalam karyanya Summa Theologica dengan jawaban yang lebih konkrit, tentunya dibantu oleh keuntungan yang ia dapatkan dari pewahyuan Allah.
Dalam kesempatan ini, logika dan argumen Aristoteles dalam menjelaskan tujuan akhir manusia akan dijabarkan ke dalam enam poin singkat.

Semua aktivitas mengarah kepada suatu tujuan ((Aristoteles, Nicomachean Ethics I:1))

Aristoteles selalu memulai argumennya dengan pernyataan yang kebenarannya dapat diterima semua orang: semua aktivitas mengarah kepada suatu tujuan. Tampaknya, pertanyaan tersebut tidak bisa dibantah kebenarannya. Tumbuhan bertumbuh untuk suatu tujuan: menghasilkan buah. Sapi memakan rumput untuk suatu tujuan: bertahan hidup. Manusia berolahraga untuk tujuan tertentu: menjaga kesehatan. Semua aktivitas mengarah pada tujuan tertentu dan tidak ada aktivitas yang dilakukan tidak untuk mencapai sesuatu, baik secara sadar maupun tidak sadar.

Tujuan-tujuan tidak mungkin berjumlah tak terhingga ((NE I:2))

Suatu tujuan itu mengarah pada tujuan lain. Manusia bekerja, misalkan, untuk mencari uang, dan uang digunakan untuk memeroleh makanan, dan seterusnya. Namun, tujuan-tujuan manusia tidak mungkin berjumlah tak terhingga karena, bila manusia memunyai tujuan-tujuan yang tak terhingga, maka manusia tidak memunyai tujuan apapun, dan itu adalah tidak masuk akal. ((Pembuktian pernyataan ini menggunakan metode reductio ad absurdum, yaitu dengan menunjukkan bahwa penyangkalan pernyataan tersebut akan menghasilkan implikasi yang salah atau tidak masuk akal. Contohnya, pernyataan “semua manusia itu bisa meninggal” itu benar karena bila “ada manusia yang tidak bisa meninggal,” maka sekarang ada manusia yang berumur ribuan tahun, dan pernyataan itu adalah tidak masuk akal (absurd).)) Penjelasan argumen tersebut adalah sebagai berikut.
A –> B, B –> C, C –> D
A = tujuan awal
B, C = tujuan pertengahan
D = tujuan akhir
Bila tujuan-tujuan manusia itu tak terhingga, maka tidak ada tujuan akhir (tujuan yang tidak mengarah pada hal lain). Tanpa tujuan akhir (misalkan D), maka tidak mungkin ada tujuan-tujuan pertengahan (misalkan B, C) dan, maka, tidak mungkin ada tujuan awal (misalkan A): pernyataan ini tidak masuk akal karena dengan demikian tidak ada yang pernah terjadi. Maka dari itu, tujuan-tujuan manusia pasti mengarah pada satu tujuan akhir, dan bukan berjumlah tak terhingga.

Tujuan akhir manusia adalah sesuatu yang setelah dicapainya, ia tidak lagi mencari tujuan lain, atau tujuan akhir manusia adalah sesuatu yang dicari demi hal itu sendiri dan tidak demi hal lain. ((NE I:2))

Apa itu “tujuan akhir”? Tujuan dari suatu aktivitas itu berbeda-beda, dan nampaknya, ada tujuan yang lebih penting dan sempurna dari yang lainnya. Tujuan yang paling penting dan sempurna adalah tujuan yang dicari demi tujuan itu sendiri. Uang bukanlah tujuan manusia yang paling penting karena uang digunakan untuk mencari tujuan lain, seperti makanan. Makanan juga bukan tujuan manusia yang paling penting karena makanan digunakan untuk mencari tujuan lain, yaitu bertahan hidup. Bila telah dibuktikan bahwa manusia pasti memiliki tujuan akhir, tujuan akhir tersebut tidak akan dicari demi tujuan lain, melainkan demi tujuan itu sendiri.

Kebahagiaan adalah tujuan akhir manusia ((NE I:2))

Kebahagiaan (Gk. eudaimonia), nampaknya, adalah tujuan akhir manusia, karena kebahagiaan tidak digunakan untuk mencari tujuan lain; kebahagiaan dicari demi kebahagiaan itu sendiri. Sebagai experimen, andaikan kita mengetahui cara langsung untuk mendapatkan kabahagiaan yang sempurna dan abadi; pasti kita tidak ragu untuk menggunakan cara itu, dan uang, kenikmatan, kekuasaan, dan hal-hal lain menjadi tidak penting karena semuanya pun dicari demi kebahagiaan. Namun, apakah kebahagiaan itu? Istilah ini harus dijelaskan sebelum kita bisa memahami apakah tujuan akhir manusia.
Macam-macam kebahagiaan (pendapat orang-orang mengenai kebahagiaan) ((NE I:5))
Aristoteles menganalisa dengan bertanya: apakah pendapat orang-orang mengenai kebahagiaan? Setidaknya ada tiga pendapat umum mengenai apa kebahagiaan itu. Pertama, seseorang mengira bahwa kebahagiaan adalah gratifikasi, atau kesenangan (gratification/pleasure). Namun, tampaknya ini bukanlah kebahagiaan yang sebenarnya dicari manusia; kehidupan yang hanya mencari hal tersebut tidaklah berbeda dengan kehidupan sapi atau binatang-binatang lainnya yang hanya mencari rumput demi kepuasan dirinya. Manusia seharusnya memiliki kebahagiaan yang lebih tinggi.
Ada pula yang berpikir bahwa kebahagiaan terletak di kekuasaan politik, yaitu menjalani hidup yang berkebajikan. Ada pula yang berpikir bahwa kebahagiaan terletak di aktivitas intelektual (Gk. theorein). Kepemilikan uang sudah jelas bukanlah kebahagiaan yang dicari manusia karena uang hanyalah alat untuk mendapatkan hal-hal di atas: kesenangan, kekuasaan, dan kecerdasan. Untuk mencari kebahagiaan yang sebenarnya dicari manusia, kita harus melihat apakah fungsi manusia itu yang membedakan dia dari makhluk-makhluk lain karena setiap aktivitas bergantung pada fungsinya.

Kebahagiaan itu harus dicari berdasarkan fungsi unik manusia ((NE I:7))

Ada tiga tingkatan fungsi dalam diri manusia. Pertama, fungsi manusia adalah sebagai makhluk hidup (living being). Sebagai makhluk hidup, manusia selalu mencari cara untuk mempertahankan eksistensinya, baik dengan makanan ataupun keturunan. Fungsi ini, nampaknya, bukanlah fungsi unik manusia karena semua tumbuhan juga memiliki disposisi atau kecenderungan yang serupa. Pohon berusaha tumbuh ke atas untuk mencari sinar matahari yang akan mempertahankan hidupnya.
Kedua, fungsi manusia adalah sebagai makhluk perasa (sensing being). Selain berusaha mempertahankan hidupnya, manusia juga dapat merasakan sakit dan senang, buruk dan baik, suka dan tidak suka terhadap sesuatu. Namun, ini juga bukanlah fungsi manusia yang paling sempurna karena setiap binatang juga memiliki kecenderungan yang sama: mencari yang baik dan menjauhi yang buruk. Seekor domba akan menjauhi serigala dan mencari gembalanya.
Ketiga, fungsi manusia adalah sebagai makhluk berakal budi (rational being). Tampaknya, inilah fungsi manusia yang paling sempurna karena hanya manusialah yang memiliki kekuatan untuk berakal budi, yaitu kekuatan yang terletak pada aktivitas jiwa/roh manusia. Maka dari itu, bila fungsi utama seorang nahkoda adalah membawa kapalnya sampai di tujuannya, aktivitas itulah yang harus menjadi tujuan utama oleh nahkoda tersebut—selama ia adalah nahkoda (a sailor insofar as a sailor). Sama halnya seperti manusia: bila fungsi utama manusia adalah aktivitas dalam berakal budi, maka tujuan akhir dari manusia, atau kebahagiaan, seharusnya adalah kesempurnaan dalam aktivitas berakal budi.

Kesimpulan: Kebahagiaan menurut Aristoteles

Hidup di abad keempat BC, Aristoteles, tanpa mendapatkan pewayhuan Allah, berhasil mencari tujuan akhir manusia sampai pada pengertian kebahagiaan sebagai penyempurnaan dalam aktivitas berakal budi, dan penyempurnaan ini yang dia mengerti sebagai kebajikan. ((Kebajikan (virtue), dalam hal ini, adalah penyempurnaan aktivitas berakal budi (NE I:7), dan akal budi adalah bagian dari jiwa (NE I:8). Maka, definisi kebahagiaan menurut Aristoteles: Happiness is a sort of activity of the soul expressing virtue (cf. NE I:9,10), dan definisi orang bahagia menurut Aristoteles: “the one who expresses complete virtue in his activities, with an adequate supply of external goods, not for just any time but for a complete life” (NE I:10).)) Namun, pencarian tujuan akhir manusia ini tentu belum sempurna. Selama tujuan akhir manusia belum ditemukan dalam kesempurnaannya, dan karena setiap aktivitas itu dilakukan berdasarkan tujuan akhirnya, Etika masih diselimuti ketidakpastian: bagaimana seseorang harus hidup dan berperilaku? St. Thomas akan melanjutkan pencarian ini, dan dengan bantuan pewahyuan Allah, ia berhasil memberikan jawaban yang lebih pasti mengenai apakah kebahagiaan itu yang sebenarnya dicari manusia.

Kebahagiaan Hanya di dalam Tuhan: Bagaimana St. Thomas “Membaptis” Filsafat Aristoteles

Pencarian kebahagiaan manusia yang dilakukan Aristoteles berujung di pengertian kebahagiaan sebagai penyempurnaan dalam aktivitas berakal budi. Aristoteles kemudian menjelaskan kebahagiaan ini sebagai suatu bentuk kehidupan berkebajikan (life expressing virtue)yang terus-menerus, dan bukan hanya sementara saja. Walaupun ia melanjutkan diskusi mengenai “kebajikan” itu sendiri, Aristoteles tidak memberikan kepastian bagaimana kebahagiaan seperti itu dapat ditemukan manusia. Dalam hal ini, pewahyuan tentunya berperan besar. Seperti yang dikatakan Katekismus, pewahyuan Allah membuat sesuatu yang tidak pasti menjadi pasti bagi manusia, agar manusia dapat percaya dengan mudah, keteguhan yang kokoh, dan tanpa tercampur kesalahan atau kesesatan. ((cf. KGK 38)) Dengan bantuan pewahyuan, St. Thomas secara indahnya meneruskan pencarian Aristoteles dan memberikan manusia suatu kepastian di mana kebahagiaan itu dapat ditemukan.

Kebahagiaan akhir manusia terletak pada penyempurnaan aktivitas berakal budi

St. Thomas akan membawa argumennya berdasarkan hasil pencarian Aristoteles bahwa kebahagiaan manusia terletak pada penyempurnaan aktivitas berakal budinya. St. Thomas kemudian menjelaskan bagaimana penyempurnaan aktivitas berakal budi itu dapat tercapai.

Penyempurnaan aktivitas berakal budi adalah mengetahui esensi sesuatu

Penyempurnaan setiap kekuatan manusia ((Kekuatan-kekuatan dasar manusia (basic powers of man) dapat dikelompokkan menjadi intelek/akal budi (intellect/reason), kehendak (will), dan kesukaan/gairah (passions). )) itu berdasarkan natur dari objeknya. Sebagai contoh, penyempurnaan dari kehendak (the will) adalah kasih (charity), yaitu menghendaki kebaikan yang lain, karena objek dari kehendak adalah kebaikan (good). ((cf. St. Thomas, STh. II-II, q. 172, a. 2, ad. 1; Kehendak dan kesukaan/gairah selalu mencari “kebaikan”, baik “kebaikan” yang sesungguhnya, ataupun “kebaikan” yang hanya tampak demikian)) Maka, penyempurnaan dari akal budi adalah mengetahui esensi dari sesuatu, karena esensi, yaitu “apa hal itu” (what it is), adalah yang dicari akal budi. ((cf. Aristoteles, De Anima, iii, 6.)) Akal budi manusia tidak hanya melihat/memahami aksiden, seperti spektrum warna, bentuk, dan ukuran pada objek-objek di sekitarnya. Kita tidak hanya melihat lingkaran, warna hijau, dan bentuk memanjang, tetapi akal budi manusia melihat matahari, pohon-pohon, dan sungai dengan “menggabungkan” aksiden-aksiden tersebut (warna, bentuk, ukuran, dan sebagainya) dan melihatnya sebagai suatu esensi (matahari, pohon, sungai, dan sebagainya). Sebagai contoh lainnya, ketika seseorang memandang crucifix, ia tidak hanya melihat bentuk salib, warna cokelat, dan tekstur kasar; akal budinya melihat esensi dari objek tersebut, yaitu crucifix. Maka, penyempurnaan aktivitas berakal budi, berdasarkan objeknya, adalah mengetahui esensi dari suatu objek.

Manusia lebih mencari esensi dari sebab daripada akibat.

Setelah terbukti bahwa kebahagiaan manusia terletak pada aktivitas tertingginya, yaitu berakal budi, dan dengan berakal budi ia mencari esensi dari sesuatu dan bukan sekedar aksiden, maka pertanyaannya adalah apakah manusia mencari esensi dari suatu sebab atau akibat. Nampaknya, manusia secara natural ingin mencari esensi dari sebab. Hal ini dikarenakan manusia hanya dapat melihat secara langsung esensi dari akibat, sedangkan sebabnya hanya diketahui sejauh kita tahu bahwa segala sesuatu ada penyebabnya. ((Dengan melihat/mengerti esensi dari akibat, kita melihat “apa (akibat/hal) itu” (what it is). Namun dengan melihat akibat, kita tahu mengenai sebab bahwa “(sebab/hal) itu ada” (that it is), namun belum mengetahui “apa (sebab) itu” (what it is). Kenyataan ini lah yang membuat kita terus bertanya-tanya mengenai sebab.)) Ketika kita melihat esensi dari asap, kita tahu bahwa asap itu ada penyebabnya. ((Dalam hal ini, asap adalah “akibat” sejauh asap memiliki “sebab”.)) Ini membuat kita ingin mencari penyebabnya, dan setelah kita melihat esensi dari penyebabnya, misalnya api, kita pun tahu bahwa api itu ada penyebabnya. ((Dalam hal ini, api adalah “akibat” sejauh api memiliki “sebab”.)) Sebagai contoh lain seperti yang diberikan St. Thomas, bila kita melihat gerhana matahari, dan tahu bahwa hal tersebut pasti disebabkan oleh sesuatu, kita akan terus bertanya-tanya tentang penyebabnya sampai kita melihat/mengerti esensi dari sebab gerhana itu. Namun, kita akan tetap bertanya-tanya selama penyebab dari gerhana itu juga disebabkan oleh hal lain. Maka, manusia dengan akal budinya selalu memiliki kerinduan untuk mencari esensi penyebab dari akibat yang dilihatnya.

Manusia belum bahagia selama akal budinya masih mencari sesuatu.

Nampaknya jelas bahwa selama kekuatan tertingginya, yaitu akal budi, masih mencari sesuatu, manusia belum dapat dikatakan berbahagia. Selama binatang, yang kekuatan tertingginya adalah kesukaan/gairah, masih mencari sesuatu yang lebih disukainya, ia masih belum berbahagia. Selama seorang nahkoda, sejauh ia seorang nahkoda, masih mencari tujuan akhir bagi kapal yang dikemudikannya, ia belum “berbahagia” atau belum memenuhi tujuan akhir dari keberadaannya. Dengan demikian, selama akal budi manusia masih mencari esensi dari sesuatu, manusia belum dapat dikatakan berbahagia atau berhasil mencapai tujuan akhirnya.

Kebahagiaan sempurna manusia terletak pada pengetahuan akan esensi dari Sebab Pertama.

Kita telah menyetujui bahwa, pertama, manusia tidak pernah puas selama akal budinya masih dapat mencari sesuatu. Kemudian, manusia selalu ingin mencari esensi dari sebab dan bukan sekedar akibat. Dengan demikian, kebahagiaan sempurna manusia terletak pada pengetahuan/penglihatan akan esensi dari Sebab Pertama (First Cause), yaitu sesuatu yang tidak disebabkan oleh hal lain. ((Sebab Pertama pasti ada karena tidak mungkin ada rangkaian sebab-akibat yang tak terhingga (lihat bagian pertama dalam pembuktian adanya tujuan akhir manusia dengan argumen reductio ad absurdum). Lihat pula STh. I, q. 2, a. 3.)) Setelah mengetahui/melihat esensi dari Sebab Pertama ini, ia dengan akal budinya tidak lagi mencari hal lain karena tidak ada yang menjadi sebab dari Sebab Pertama. Maka, kebahagiaan manusia dicapai setelah akal budinya melihat Sebab Pertama.

Kebahagian manusia hanya ada di dalam kesatuannya dengan Allah

Aristoteles telah membuktikan keberadaan dari Sebab Pertama, namun ia tidak mengembangkan pribadi tersebut lebih jauh dari sekedar Pure Act yang abstrak dan nonpersonal. St. Thomas kemudian menerangkan sosok Sebab Pertama ini dengan menyebutnya sebagai “Allah” dalam quinque viae (lima jalan) yang ia berikan untuk membuktikan eksistensi Allah. Maka, untuk mencapai kebahagiaan yang sempurna, yaitu tujuan akhir manusia, akal budi perlu mencapai esensi dari Sebab Pertama, yaitu Allah. Namun, di dunia ini kita belum dapat melihat esensi Allah secara sempurna: kita hanya tahu bahwa Allah “itu ada” (that He is) berdasarkan ciptaan-ciptaannya, tetapi tidak tahu secara sempurna “apa itu” (what He is) Allah. Dengan demikian, penyempurnaan akal budi manusia hanya ada di dalam kesatuannya dengan Allah di dunia yang akan datang, di mana kebahagiaan dan tujuan akhir manusia dapat tercapai dengan melihat “apa itu” Allah melalui Beatific Vision.

Kesimpulan

Pada akhirnya, walaupun tanpa pewahyuan, kita dapat secara jelas dan yakin mengetahui bahwa manusia memiliki tujuan akhir dan hidupnya tidak tanpa arah atau tujuan; tujuan itu adalah yang kita mengerti sebagai kebahagiaan, yaitu sesuatu yang dicari demi hal itu sendiri dan tidak demi hal lain. Aristoteles pun menegaskan bahwa kebahagiaan itu tidak terletak pada sekedar kesenangan atau kenikmatan, atau bahkan uang, tetapi pada aktivitas manusia yang paling mulia dan unik, yaitu berakal budi. St. Thomas, yang menyempurnakan pemahaman Aristoteles mengenai Allah menjadi pribadi yang personal dan jelas keberadaannya, meyakinkan bahwa penyempurnaan aktivitas manusia itu hanya ada di dalam Allah, karena hanya setelah melihat Allah akal budi manusia akan terpuaskan. Dengan demikian, pewahyuan Allah tidak menggantikan posisi filsafat Aristoteles, melainkan memperjelas, menyempurnakan, dan memberikan kepastian kepada kita mengenai kebenarannya.
St. Thomas juga melengkapi bahwa Allah tidak hanya memenuhi kerinduan akal budi manusia sebagai kekuatan tertingginya, namun hanya Allah pula yang dapat memenuhi semua kekuatan manusia, yaitu kehendak (will) dan kesukaan/gairah (passions), dan tidak ada ciptaan yang dapat memberikan manusia kebahagian yang sempurna. ((cf. STh. I-II, q. 2, a. 8)) Orang-orang yang menganggap mereka dapat mendapatkan kebahagiaan di dunia ini jelas tertipu. Secara sederhana, sesuatu tidak dapat dipuaskan oleh hal yang di bawah kodratnya. Seekor sapi tidak dapat dipuaskan dengan berperilaku seperti tumbuhan: hanya berdiam diri dan makan. Demikian pula dengan manusia. Manusia tidak dapat dipuaskan dengan dunia ini sebab akal budinya dapat beraktivitas secara lebih tinggi dan mulia dari sekedar eksistensi fisik dunia ini. Pernyataan ini menjadi masuk akal: karena manusia memiliki kemampuan berakal budi yang merupakan partisipasi dalam suatu kenyataan yang lebih tinggi, hanya pribadi yang lebih tinggi yang dapat memuaskan manusia secara penuh, dan pribadi itu adalah yang kita pahami sebagai Allah.
Bukti nyata dari argumen ini adalah kehidupan orang-orang kudus: mereka menyadari bahwa kebahagiaan hanya ada di dalam Allah, dan mereka sebagai manusia memiliki kodrat untuk mencari kebahagiaan. Maka, mereka tidak menyia-nyiakan hidupnya mencari ciptaan-ciptaan, melainkan mereka langsung mencari Pencipta, yaitu melalui kehidupannya yang merefleksikan kehidupan surgawi. Inilah poin utama dari rangkaian artikel ini: kembali pada pernyataan pertama yang dibuat Aristoteles dalam Nicomachean Ethics, bahwa semua aktivitas mengarah kepada suatu tujuan, tindakan kita harus didasari oleh tujuan yang kita hendaki, karena dengan demikianlah tujuan itu dapat tercapai. Mengetahui bahwa tujuan akhir manusia adalah kesatuannya di dalam Allah, tidak ada alasan yang masuk akal bagi manusia untuk tidak menjadi seperti orang-orang kudus: hanya melakukan segala hal yang membawa jiwanya semakin dekat kepada Sang Sebab Pertama.
“Engkau [Allah] telah membuat kami dan menarik kami pada-Mu, dan hati kami tidak akan tenang hingga ia beristirahat dalam Engkau” (St. Agustinus, The Confessions I, 1).

Logika – Pentingkah di Masa Kini?

(Artikel ini didasarkan pada buku Peter Kreeft, Socratic Logic: A Logic Text Using Socratic Method, Platonic Questions, and Aristotelian Principles, St. Augustine’s Press: South Bend, Indiana (2010))
Logika itu membosankan. Pernyataan ini benar bagi hewan, tumbuhan, atau benda-benda mati, karena mereka tidak dikaruniai akal budi. Bagi manusia, logika tidak dapat membosankan, walaupun kesannya membosankan. Logika menjadi terkesan membosankan dewasa ini karena orang (pada umumnya pria) berpikir bahwa ia sudah pandai berlogika. Betul bahwa semua orang bisa berlogika; sayangnya, ada logika yang buruk dan yang baik, dan tidak sedikit sumber kesesatan itu berasal dari logika yang buruk (lihat beberapa “filsuf-filsuf” modern). Logika itu tidak membosankan karena manusia tidak pernah berhenti menjadi manusia, makhluk yang berakal budi. Ia tidak pernah berubah menjadi laba-laba ataupun batu.
Mulai dari menganalisa teori Descartes1 sampai berbincang dengan penjaga toko, kita memanfaatkan logika. RenĂ© Descartes menyatakan bahwa, “Saya berpikir, maka saya ada” (cogito ergo sum). Apakah itu merupakan pembuktian yang benar tentang alasan keberadaan manusia? Lalu, ketika kita berjumpa dengan penjaga toko elektronik dan hendak mengembalikan barang yang kita beli, perbincangan ini sangat mungkin terjadi:
Pembeli: Saya mau kembalikan TV ini ya, bisa kan?
Penjual: Wah, tidak bisa, Pak; kita tidak bisa terima lagi.
Pembeli: Loh, di sini jelas tertulis: “kalau sudah dibuka, tidak dapat dikembalikan,” tapi kan saya belum buka. Berarti bisa dikembalikan dong.
Penjual: Argumen Bapak kok tidak logis.
Siapakah yang telah menggunakan logikanya dengan lebih baik? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, kita perlu memahami prinsip-prinsip berlogika yang baik. Sebelum menyelami logika lebih dalam, apa manfaat yang kita dapatkan setelah kita memahami seni berlogika yang baik? Menurut Peter Kreeft, setidaknya ada 13 manfaat:
  1. Keteraturan
Kita tidak dapat memanfaatkan logika seperti arsitek dapat memanfaatkan penggaris, tetapi logika dapat mengubah kita. Logika mengubah kita dengan “membangun kebiasaan mental dalam berpikir dengan cara yang teratur.” Dengan berpikir secara teratur, kita akan memiliki kejelasan dalam mencari kebenaran, berbicara, ataupun menulis.
  1. Kekuatan
Logika memberi bukti untuk pernyataan yang kita ungkapkan. Dengan demikian, logika memiliki kekuatan untuk memengaruhi. Pengaruh yang diberikan orang yang berlogika dengan baik tidak seperti pengaruh pengacara atau politisi yang mungkin tidak jelas kebenarannya; logika mencari kebenaran, dan pada akhirnya Sang Kebenaran.
  1. Membaca
Logika membantu Anda dalam membaca, sehingga Anda dapat membedakan kebenaran dari kesalahan atau kebohongan secara jelas dan efektif.
  1. Menulis
Logika membantu Anda dalam menulis secara logis, yaitu secara teratur dan meyakinkan. Tulisan memiliki kekuatan untuk memengaruhi bila disajikan secara logis. Tulisan yang tidak logis, tidak teratur seperti suatu mimpi, adalah membosankan.
  1. Kebahagiaan
Bagaimana logika membantu kita mencapai kebahagiaan? Jawaban logis yang diberikan Kreeft adalah sebagai berikut.
  1. Ketika kita mendapatkan apa yang inginkan, kita bahagia.
  2. Dan apapun yang kita inginkan, baik Surga ataupun hamburger, kita akan lebih mungkin mendapatkannya bila kita berpikir dengan lebih jelas.
  3. Logika membantu kita berpikir dengan lebih jelas.
  4. Maka, logika membantu kita mendapatkan kebahagiaan.
  1. Iman
Apakah logika berjalan seiring dengan iman atau menentang iman? Iman jelas melampaui logika selama iman melampaui akal budi manusia, namun logika tidak bertentangan dengan iman. Logika dapat membantu iman dalam tiga hal: (1) memperjelas dan mendefinisikan artikel iman; (2) membantu mengaplikasikan kepercayaan ke dalam situasi-situasi tertentu; (3) memberikan bukti yang jelas (lebih kuat daripada sekedar perasaan, intuisi, mood, atau “coba-coba”) mengenai iman, walaupun tidak semua artikel iman dapat dibuktikan dengan logika.
  1. Kebijaksanaan
Logika dapat membantu Anda menjadi bijaksana. Tanpa logika, seseorang tidak dapat menjadi bijak, walaupun logika saja tidak cukup membuat orang menjadi bijak.
  1. Demokrasi
Ya, logika juga memiliki implikasi sosial dan politik. Thomas Jefferson2 mengatakan, “dalam negara republik, yang warga negaranya dipimpin oleh akal budi dan persuasi dan bukan oleh paksaan, seni berakal budi menjadi keutamaan yang pertama.” Bangsa yang tidak menerapkan prinsip logika klasik yang benar, akan dapat mempunyai resiko bahwa rakyatnya akan mudah diombang-ambingkan oleh isu-isu yang bahkan tidak masuk akal. Ini terjadi, sebab rakyatnya tidak dilatih untuk memilah antara hal-hal yang baik dan buruk, memisahkan hal-hal yang benar dari hal-hal yang salah. Padahal rakyat yang berdaulat seharusnya memiliki kemampuan untuk memisahkan kebenaran dari kesalahan dengan jelas dan penuh keyakinan. Di sinilah peran logika bagi suatu bangsa, sebab tanpa logika yang baik, bukankah banyak keputusan hanya dibuat berdasarkan opini, atau bahkan perasaan?
  1. Memberikan keterbatasan logika
Logika diperlukan untuk menyadari keterbatasan dari logika itu sendiri. Logika dapat membedakan apa yang bisa ia mengerti dan apa yang tidak bisa ia mengerti (seperti perasaan, situasi, dan intuisi).
  1. Menguji otoritas
Otoritas dapat meliputi banyak pihak, baik itu pemerintah, buku, guru, atau orangtua. Di samping itu, kita memerlukan logika karena kita perlu alasan yang benar untuk tunduk pada otoritas tertentu.
  1. Menyadari kontradiksi
Banyak orang melihat dua hal yang berbeda itu serupa, dan dua hal yang serupa itu berbeda. Ini berbahaya. Kebingungan mengenai kontradiksi antara dua hal atau lebih menyebabkan seseorang tidak dapat membedakan arti dari hal-hal tersebut, kebenaran dan kesalahannya, dan alasannya.
  1. Kepastian
Walaupun logika punya keterbatasan luar (poin 9), yaitu banyak hal-hal yang tidak dapat dijangkaunya, logika tidak memiliki keterbatasan dalam. Seperti matematika, 2 tambah 2 adalah pasti 4. Dalam logika, jika A adalah B, dan B adalah C, maka A adalah pasti C. Logika memberikan kepastian yang tidak dapat tergoyahkan.
  1. Kebenaran
Logika saja tidak cukup untuk menemukan kebenaran, namun logika sangat membantu kita mencari kebenaran, dan tujuan dari logika adalah kebenaran, bukan yang lain. Inilah manfaat logika yang terpenting dan terutama.
Kesimpulan
Berbeda dengan malaikat yang dapat melihat seluruh kebenaran secara langsung, manusia perlu mencari kebenaran selangkah demi selangkah. Logika yang baik diperlukan dalam proses pencarian kebenaran itu. Negara ini (atau bahkan dunia ini) semakin gagal karena manusia semakin melupakan pentingnya logika seperti yang dianut oleh Sokrates, Plato, dan Aristoteles; kita tidak lagi mampu secara jelas mencari dan membedakan kenyataan dari bayangannya, kebenaran dari kesalahan. Filsuf bukanlah hanya Aristoteles atau St. Thomas. Anda adalah filsuf, selama Anda mencintai kebijaksanaan,3 dan setiap filsuf yang sejati memahami seni berlogika yang baik.

1 René Descartes adalah filsuf dan matematikawan Perancis di abad ke-17
2 Salah satu Bapa-bapa Pendiri Amerika Serikat.
3 Filosofi berasal dari bahasa Yunani philo dan sophia, yang artinya “cinta akan kebijaksanaan”.

PASKAH SEKAMI 2019

PASKAH SEKAMI 2019 Paskah merupakan suatu momentum yang sangat penting, yaitu tentang kebangkitan Tuhan Yesus Kristus. Dalam hal ini, Seka...